10.5.2021
Wawancara bersama Lily Yulianti Farid

Wawancara bersama Lily Yulianti Farid

Lily Yulianti Farid adalah seorang penulis dan produser kegiatan seni dengan keahlian di bidang hubungan budaya Australia-Indonesia.

Lily adalah salah satu pendiri dari pusat kesenian Rumata’ Artspace dan sejak tahun 2011 menjabat sebagai Direktur Makassar International Writers Festival. Pada tahun 1995, Lily mengawali karirnya sebagai jurnalis untuk Kompas - sebuah surat kabar terkemuka di Indonesia. Lily kemudian memperluas karirnya ke bidang akademik dan kreatif, mengajar sastra Indonesia serta bekerja untuk proyek-proyek penelitian akademik dan publikasi di University of Melbourne sejak 2014 hingga 2019. Lily juga adalah seorang Postdoctoral Fellow di Monash Indigenous Studies Centre.

Sebelum menempuh studi PhDnya, Lily bekerja sebagai jurnalis yang berfokus pada isu-isu gender. Ia pernah berkarir di perusahan-perusahaan media ternama, termasuk Australian Broadcasting Corporation (Radio Australia and Online News, Indonesian Service), Radio Japan, Japan Broadcasting Corporation, dan Harian Pagi Kompas, Indonesia. Penelitian Lily pada studi MA dan PhD nya berfokus pada representasi gender di media Indonesia. Namun, selama bekerja di University of Melbourne dan sebagai seorang penulis kreatif, Lily memperluas minatnya pada topik posisi perempuan dalam politik dan masyarakat Indonesia sebagaimana digambarkan dalam sastra kontemporer, dan hubungan historis antara Makassar dan orang-orang asli Australia.


Lily adalah sosok kekuatan pendukung bagi proyek kami selama beberapa tahun terakhir, yang menjadi salah satu alasan kami semua terhubung sejak awal. Lily berperan penting dalam hubungan kreatif antara Makassar dan Melbourne (Australia secara keseluruhan) sebagai seorang penggagas, fasilitator dan pendorong yang tak kenal lelah. Maka masuk akal bila kami berharap dapat menggali kebijaksanaan dan belajar sebanyak mungkin dari Lily. 

Lily adalah salah satu pendiri dari Makassar International Writers Festival, acara tahunan yang bertujuan untuk mendorong perkembangan suara sastra dan mendukung penulis-penulis dari Indonesia Timur, wilayah kepulauan yang lama terabaikan dalam lingkaran kesusastraan nasional. Lily menerangkan kepada kami pentingnya mendorong dan mewadahi dunia penceritaan lokal, dan bagaimana keberagaman tersebut memperkaya tatanan sosial dan budaya. 

Selagi menceritakan berdirinya Rumata’ dan perkembangan struktur dan misinya, Lily menjelaskan perannya sebagai seorang peneliti dan fasilitator lintas budaya. Bagi Lily, wadah yang telah ia bangun hadir dengan tanggung jawab sosial yang besar, dan harus dipergunakan untuk memberdayakan mereka yang terpinggirkan dan tidak punya suara. Posisi sebagai seorang peneliti dan fasilitator seni harus diakui dan diperhitungkan saat mengembangkan suatu proyek inisiatif, pastikan setiap proyek menguntungkan bagi yang bersangkutan, bahwa akses, konsultasi dan tindak lanjut merupakan inti dari setiap kegiatan yang berpusat pada komunitas. 

Pengalaman dan nasihat dari Lily berbicara langsung kepada proyek kami dan telah mendorong terjadinya banyak diskusi di antara tim Sipakatuo. Pertanyaan-pertanyaan yang harus selalu kami kunjungi kembali, terkait siapa yang diuntungkan oleh proyek ini, apa yang terjadi setelah proyek ini berakhir, dan tentu saja, apa tujuan yang mendasari Sipakatuo turut dibahas. Penting bagi kami untuk terus mempertanyakan tujuan dan posisi demi terciptanya kerja sama yang harmonis dan berkembang. 

Kami sangat berterima kasih kepada Lily atas waktu serta dukungan yang terus menerus diberikan baik kepada aktivitas juga proyek kami. Arahan dan kebijaksanaan darinya akan selalu berharga. 

Sam: Terima kasih telah bersama kami hari ini untuk mendiskusikan pengalaman anda bekerja dengan inisiatif-inisiatif budaya antara Indonesia dan Australia; apakah anda pernah bekerja sama dengan Asialink Arts sebelumnya?

Lily: Saya diundang sebagai salah satu pembicara untuk sebuah panel yang diselenggarakan oleh Asialink, untuk berbicara tentang hubungan sejarah antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan Australia melalui perdagangan trepang (teripang) sejak sebelum 1770. Jadi, sebelum era penjajahan, telah terjalin hubungan panjang antara para nelayan teripang Makassar dan orang-orang First Nations di Wilayah Utara. Apakah kamu pernah mendengar tentang sejarah ini?

 

Afifah: Keluargaku pernah bercerita sedikit soal itu karena saya berasal dari keluarga orang Bugis, jadi saya tahu soal sejarah teripang, walaupun hanya sedikit.

 

Lily: Itu bagus, karena tak banyak yang tahu soal itu.

 

Sam: Saya sudah melihat filmnya.

 

Lily: Oh ya, Trading Cultures

Penggunaan bahasa daerah berkontribusi pada keragaman bahasa nasional.

Sam: Kebanyakan yang saya ketahui hanyalah apa yang saya pelajari dari film tersebut dan beberapa artikel yang saya baca soal itu. Kami sangat ingin mendengar tentang pekerjaan Anda bersama Rumata Artspace dan sejarah dari Artspace.

 

Lily: Ceritanya panjang! Riri Riza dan saya mulai memikirkan ide membuat rumah budaya dan ruang seni ketika kami pertama kali bertemu pada 2008. Saat itu saya tinggal dan bekerja di Tokyo sebagai jurnalis dan penyiar Radio Jepang, siaran radio perusahaan penyiaran nasional Jepang NHK, dimana saya bekerja selama 5 tahun. Meskipun saya memulai karir saya sebagai jurnalis - saya pernah bekerja untuk Harian Kompas - passion utama saya adalah penulisan kreatif, dan dari sinilah ceritanya bermula. Saya selalu berencana untuk menerbitkan koleksi cerita pendek. Buku koleksi cerita pendek pertama saya diterbitkan pada tahun 2008, dan kami punya beberapa acara untuk meluncurkan dan mendiskusikan buku tersebut. Salah satu acara peluncuran buku berlangsung di Jakarta pada tahun 2008, dan kami bertemu dengan sekelompok penulis Makassar di Jakarta. Kami mulai mendiskusikan kemungkinan untuk memberikan kontribusi balik di bidang seni dan budaya kepada Makassar.

Riri berbagi cerita tentang kenangan masa kecilnya di sebuah rumah yang sangat tua di Makassar. Kami mulai berpikir bagaimana mengembangkan ide tersebut dan memulai model crowdfunding, yang merupakan model yang sangat baru saat itu, untuk membangun galeri dan organisasi seni. Kami memperkenalkan ide itu terlebih dahulu kepada keluarga kami. Keluarga saya dengan sungguh-sungguh memberikan saya sistem dukungan untuk memikirkan apa model terbaik untuk dua orang yang tidak selalu tinggal di Makassar tetapi ingin melakukan sesuatu untuk kota ini, begitulah semangatnya. Sebagai orang yang menggeluti seni dan budaya, kami percaya bahwa melalui seni dan budaya, kami dapat berkontribusi untuk pembangunan manusia di Makassar. 

Orang yang berbicara tentang pembangunan Indonesia Timur, dan Indonesia pada umumnya, cenderung berbicara tentang pembangunan fisik, seperti membangun infrastruktur landmark baru. Di Makassar, ada banyak landmark-landmark jelek, yang tidak memiliki sejarah dan dibangun tanpa konsultasi dengan pemangku kepentingan. Kami tiba-tiba melihat sesuatu yang sudah didirikan atau dibangun, dan kami tidak pernah diberi peringatan sebelumnya. Bagaimana kita membangun hubungan dengan landmark ini? Itulah gambaran mereka tentang kota modern. Sedangkan bagi kami - bagi saya - kota modern harus menjadi sesuatu yang memiliki visi atau konsep yang lebih komprehensif tentang kota dengan kegiatan budaya yang kuat dan dinamis. Dan yang kami maksud bukan hanya festival yang berlangsung dalam satu atau dua hari. Itu bukan prioritas nomor satu kami. Itulah kecenderungan lain dari pemerintah, mereka sangat suka melihat festival akbar yang diselenggarakan selama satu atau dua hari. Tapi tidak ada dampak yang sifatnya jangka panjang. 

Inilah hal-hal yang mulai kami pertimbangkan dan kembangkan bersama, tetapi itu adalah proses yang berjalan sangat lambat saat itu, pada tahun 2008 dan 2009.


Sam: Apakah ada tempat yang anda jadikan model atau inspirasi untuk sanggar tersebut? Tempat tertentu yang pernah anda kunjungi yang anda ingin contoh?


Lily: Ya. Riri belajar masternya di London, dan dia mengunjungi banyak galeri kecil di kota-kota Eropa. Saya sendiri mengunjungi banyak galeri kecil dan menengah di Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Malaysia. Jadi kami menemukan inspirasi dari apa yang kami lihat di Asia melalui jaringan kami yang berbeda. Dan tentu saja, di Australia, kami sangat senang dengan gagasan memiliki galeri kecil seperti yang ada di Brunswick atau Fitzroy, sangat membumi. Anda dapat berhubungan dengannya dan komunitas disana. Pada tahap awal pengembangan konsep, kami banyak berdiskusi dengan teman-teman kami di bidang desain dan arsitektur, mereka memberi kami banyak masukan. Sanggar yang kami rencanakan ini haruslah mengikuti model akar rumput, didorong oleh masyarakat. Meskipun kami memiliki sebidang tanah yang cukup besar, 900m2, fasilitas adalah satu hal dan konsep organisasi adalah hal lain. Kami perlu bekerja dan mengembangkan dua konsep ini secara terpisah tapi juga pada saat yang sama.

 

Sam: Bisakah anda menceritakan kepada kami sedikit mengenai konsep organisasinya?

 

Lily: Jadi, selama lima tahun pertama kami perlu mengokohkan fondasi kami, yang berarti kami berdua harus bekerja secara sukarela, tentu saja di samping pekerjaan utama kami, Riri sebagai sutradara film dan saya sebagai penyiar profesional. Saya kemudian beralih karir dari media ke universitas. Saya belajar untuk Ph.D. dan setelah saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya sebelumnya, sampai sekarang pun saya masih melakukan penelitian dengan universitas. Model yang kami kembangkan cukup unik, dan kami memulai dalam situasi yang cukup unik, itu karena kami berdua sebagai pendiri tidak ada di sana, kami melihat Makassar dari kejauhan. 

Pertama-tama kami harus mengenal para pegiat lokal, dan di sinilah kami bertemu dengan Adbi (Adbi Karya, seniman Makassar) yang saat itu bekerja di Watermill Center di New York melalui program pertukaran seniman. Jadi kami bertiga mulai menyusun bersama, lalu kami menyewa staf paruh waktu untuk membantu kami dengan administrasi dan keuangan. 

Sejak tahun pertama, ketika kami memulai crowdfunding untuk membangun fasilitas ini, kami juga memulai promosi kami. Kami melakukan banyak promosi dengan berbagai lembaga dan organisasi kebudayaan asing di Jakarta, di Australia dan di Jepang. Jaringan yang kami buat dan miliki kami coba manfaatkan sebaik mungkin. Pada tahun 2011, kami memiliki gambaran yang jelas tentang rancangan induk, serta roadmap program lima tahun pertama dan rencana lima tahun kedua. Jadi, kami memiliki visi ini untuk diri kami sendiri dari tahun pertama ke tahun-tahun berikutnya. 

Itu sebabnya kami datang dengan gagasan mengadakan Makassar International Writers Festival pada tahun 2011, dan kemudian Riri meluncurkan Makassar South East Asia Screen Academy pada tahun 2012. Kami mendirikan sponsor jangka panjang kami di Japan Foundation, Konsulat Inggris dan Konsulat Australia sejak empat tahun yang lalu, menciptakan kemitraan jangka panjang dan jangka menengah. Modelnya sendiri tidaklah ideal. Saya pikir sangat tidak mungkin untuk meniru sepenuhnya model itu, karena saya pikir cara kami dalam mengukuhkan fondasi kami dalam lima tahun pertama adalah berkat keadaan pribadi kami masing-masing, dan kami mampu memberi satu sama lain jaminan untuk memenuhi tenggat waktu. 

Orang-orang menghadiri promosi kami dan menindaklanjuti email kami karena mereka mengenal kami, mereka tahu apa rekam jejak kami. 2010 adalah waktu yang sangat penting bagi kami berdua dalam menghabiskan waktu berbicara dengan sebanyak mungkin orang, sponsor potensial, pemangku kepentingan, dan masyarakat setempat yang mendukung impian kami! Maksud saya, visi kami sangatlah sederhana. Anda dapat melihat situs web Rumata. Kami memiliki cerita-cerita pendek di sana dan Anda dapat berlangganan buletin bulanan kami, yang memiliki bagian arsip dan ada banyak wawancara mengenai perspektif pribadi saya tentang proyek Rumata.

Writers Festival dan Rumata' menyadari bahwa fungsi kami adalah untuk menyediakan dan menjembatani para penulis pemula dan calon penulis dari berbagai tempat, kota-kota dan kabupaten-kabupaten kecil di Indonesia Timur. 

Afifah: Saya ingin bertanya terkait pertukaran lintas budaya Anda. Bagaimana menurut anda dua kota, Melbourne dan Makassar, masing-masing memberikan pengaruh bagi anda sebagai seorang kreatif? Bagaimana Anda membandingkan pengalaman kreatif yang dialami di Makassar dan Melbourne?

 

Lily: Tentu saja kedua kota tersebut menginspirasi saya serta memberikan banyak informasi dan wawasan. Keduanya memiliki persamaan, tapi tentu saja ada perbedaan dan hal-hal pokok yang cukup khas. Melbourne adalah ibu kota seni dan budaya Australia. Saya mendapatkan banyak momen inspirasional di sini, belum lagi jaringan yang saya kembangkan dengan orang-orang yang telah membantu saya selama 20 tahun terakhir. Untuk proyek-proyek yang saya lakukan di Makassar, kami memahami bahwa bekerja dengan orang-orang di Melbourne dan di kota-kota lain di Australia telah membantu Rumata dan saya sendiri untuk belajar tentang bagaimana menjalankan organisasi seni komunitas kecil secara profesional, dan kami juga belajar tentang struktur peluang pendanaan. 

Itulah salah satu poin positif tentang tinggal di Melbourne sambil melakukan banyak proyek di Indonesia, kami belajar banyak di sini dan orang-orang disini juga sangatlah membantu. Terutama bagi mereka yang ingin terhubung dan memulai kolaborasi dengan seniman atau praktisi kebudayaan Indonesia di luar Jawa. Dalam 10 atau 15 tahun terakhir semakin banyak seniman lokal, terutama mereka yang baru muncul ke permukaan, yang ingin merasakan Indonesia, tetapi tidak melalui Yogyakarta, Jakarta, Bali dan Bandung, tidak melalui kantong-kantong budaya yang sudah mapan ini. 

Ketika kami mulai memikirkan tentang kisah-kisah alternatif, platform-platform alternatif di luar Jakarta, di luar Jawa, Rumata perlu membangun kehadiran online yang kuat. Anda perlu membangun situs web Anda sendiri dengan informasi yang cukup. Jika orang meng-Google Anda, dengan kata kunci seperti organisasi seni di luar Jawa, misalnya, mereka dapat menemukan Anda secara online. Saya telah menghadiri banyak acara seni, tidak hanya di Melbourne, tetapi di berbagai tempat di Australia dan kami perlahan mengembangkan jaringan kami sendiri. Ini benar-benar suatu berkah. 

Saya telah belajar banyak melalui berbagai lokakarya pengembangan kapasitas tentang bagaimana menjalankan organisasi Anda secara efektif, bagaimana menulis proposal struktural yang sangat meyakinkan untuk mendapatkan pendanaan, bagaimana menyampaikan ide-ide Anda dan semua yang berkaitan dengan hal tersebut. Dan tentu saja, karena Melbourne memiliki acara-acara kelas dunia yang berlangsung setiap tahunnya - kita berbicara tentang masa sebelum pandemi - selalu ada peluang untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang lain yang melakukan proyek serupa dan ingin mendengarkan cerita Anda dan proyek Anda di Indonesia. Ini membantu kami untuk mempertajam fokus kami, untuk menemukan fokus yang tepat untuk Rumata. 

Dua fokus utama kami saat ini adalah sastra dan film, karena pendirinya bagaimanapun adalah penulis dan pembuat film. Dan untuk Makassar, peran kami telah berkembang dalam 10 tahun terakhir. Kami berfungsi sebagai pintu gerbang untuk kolaborasi internasional antara Makassar dan seluruh dunia. Untuk pertukaran penulis, misalnya, kami sudah memiliki program pertukaran antara penyair dari Indonesia Timur dan Inggris. Kami juga memiliki program khusus Indonesian Female Writers Exchange (Pertukaran Penulis Wanita Indonesia) antara Indonesia Timur dan Australia Barat. Ini adalah program dua tahunan yang didanai oleh DFAT dan Australia Indonesia Institute, dan bekerja sama dengan Center for Stories di Perth. 

Sekarang kami mengadakan residensi online pertama kami untuk komunitas tunarungu yang disponsori oleh Konsulat Inggris. Kami menghubungkan sekelompok penulis, penulis pemula dari komunitas tunarungu di Wales dan Makassar dan kami menjalankan proyek residensi online selama enam bulan. Kami juga terhubung dengan lingkaran pembuat film se-Asia Tenggara. Jadi, meskipun tidak ada dalam agenda kami, tetapi disebabkan pandemi, kami memulai beberapa kolaborasi untuk merayakan seratus tahun Usmar Ismail. 

Jadi, saya mendapat inspirasi dari Melbourne, saya belajar banyak tentang bagaimana membangun ekosistem, tetapi dari posisi sebagai bagian dari masyarakat sipil, bukan sebagai bagian dari birokrasi, karena di Melbourne Anda berurusan dengan ekosistem yang sangat baik. Ada penjadwalan untuk pendanaan. Saya tahu Sam mengajukan permohonan pendanaan setiap bulan untuk Dogmilk, karena ada jadwalnya. Selama di Indonesia, hal-hal seperti itu belum ada. Belum, tapi kita menuju ke arah sana. Dari penjadwalan yang sangat bagus ini di Australia, kami mencoba mencari peluang untuk kolaborasi dan kemudian bagaimana kami menjangkau Makassar dan Indonesia Timur dengan kesempatan-kesempatan yang telah mapan ini di Australia. Begitulah cara saya menggambarkan keunikan situasi yang saya hadapi, bahwa saya berada sekarang ini di Melbourne, tetapi saya juga mengerjakan proyek saya di Makassar.


Afifah: Anda menyebut soal kebangkitan para seniman lokal di Makassar. Sejak berdirinya Rumata Artspace serta Makassar International Writers dan SEAScreens, menurut Anda seberapa besar pengaruh mereka terhadap komunitas seni lokal?

 

Lily: Kami telah melakukan survei yang menunjukkan bahwa cara kami merancang peluang proyek-proyek untuk para seniman pendatang baru cukuplah unik. Untuk International Writers Festival, contohnya, setiap tahun kami melakukan seleksi dengan mengundang lima atau enam - tahun ini kami mengundang tujuh - penulis pendatang baru dari Indonesia Timur untuk bergabung dalam festival tersebut, dan kami menyediakan sejumlah kecil uang untuk menutupi biaya perjalanan, tunjangan hidup dll., seperti semacam beasiswa kecil untuk mendukung proyek penulisan mereka. Dan serupa dengan model dukungan yang kami berikan bagi para penulis yang baru muncul ini, SEAScreens juga mereplikasi model tersebut dengan memilih para pembuat film muda yang bercita-cita tinggi setiap tahunnya dan mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam serangkaian lokakarya dan proyek peningkatan kapasitas. Begitulah cara mereka membuat jaringan sendiri! 

Setiap tahunnya sejak 2011, kami melihat komunitas-komunitas penulis ini semakin percaya diri dalam berhubungan dengan pihak lain dan memperkenalkan diri mereka ke penerbit-penerbit besar di Jakarta, seperti Gramedia Pustaka Utama atau Bintang. Mereka tidak hanya berbicara tentang mempublikasikan karya sastra atau tulisan kreatif mereka, atau hanya bekerja dengan penerbit kecil atau independen, tetapi sekarang mereka memiliki jaringan nasional setelah menghadiri festival. Para penulis adalah penerima manfaat pertama, kemudian mereka kembali ke kota masing-masing dan mendirikan komunitas mereka sendiri dan mentransfer pengetahuan dan jaringan mereka, dan melakukan kegiatan mereka sendiri dengan lebih percaya diri. 

Dari 2011 hingga 2019 kami telah melihat banyak penulis dari Indonesia Timur menjadi bagian dari lingkaran sastra nasional, diundang ke berbagai festival sastra lainnya dan bergabung dengan delegasi Indonesia ke acara-acara penting internasional. Misalnya pada 2015 untuk Frankfurt Book Fair, 2018 untuk London Book Fair dan 2017 untuk Europalia di Brussels. Pada awal 2000-an, setiap kali Indonesia membentuk sebuah tim delegasi untuk menghadiri acara internasional, kami tidak pernah melihat perwakilan dari Indonesia Timur. Tapi sekarang karena kami memiliki Rumata, kami memiliki festival ini yang berlangsung setiap tahun, orang-orang menjadi tahu tentang kami, dan kami sekarang masuk ke radar mereka. Orang-orang di Jakarta kini sadar bahwa ada sesuatu yang terjadi di Indonesia Timur, bahwa mereka memiliki keunikan sendiri dan tema sendiri, cerita mereka sendiri untuk dikembangkan dan pendekatan yang berbeda. Keragaman lokalitas tema, cerita dan model penceritaan ini kini telah menjadi bagian dari kesadaran nasional setiap kali kita berbicara tentang kancah sastra nasional. Ketika orang ingin mengamati kehidupan masyarakat Indonesia melalui karya sastra, kini ini sudah tersedia. 

Kami juga telah melihat kemunculan perpustakaan-perpustakaan lokal; perpustakaan komunitas adalah fenomena baru. Kami tidak ingin mengambil kredit dan mengatakan bahwa itu karena Makassar International Writers Festival, tetapi kami telah memainkan peran kami sebagai sebuah hub, acara tahunan kami di mana orang-orang berkumpul. Ini seperti festival film ketika semua orang menanti untuk bergabung, untuk datang untuk terbang ke Makassar dan membangun koneksi. Ini adalah dampak kualitatif yang kami perhatikan dari Focus Group Discussions (FGD). 

 

Sam: Saya penasaran apakah anda dapat berkomentar tentang suara khas Indonesia Timur? Bisakah anda bercerita lebih banyak tentang gaya sastra Makassar?

 

Lily: Pertama adalah soal bahasa itu sendiri. Penggunaan bahasa daerah berkontribusi pada keragaman bahasa nasional. Cara mereka berekspresi dan bagaimana para penulis menyusun cerita menggunakan bahasa lokal dari Indonesia Timur adalah salah satu strategi. 

Ketika kami mengajukan ide ini ke Gramedia Pustaka Utama, penerbit terkemuka di Indonesia, kami menyusun program tiga tahun bersama untuk menerbitkan kumpulan cerita pendek dan puisi dari Indonesia Timur, dimana kami memiliki tiga jilid. Dulu, sangat sulit bagi orang-orang dari Indonesia Timur untuk mengajukan ide seperti itu ke penerbit besar, karena pertama, jika itu adalah karya sastra serius, secara ekonomi, tidak ada yang benar-benar tertarik untuk menerbitkan atau mensponsori buku-buku semacam itu. Kami memiliki tujuh ratus bahasa dan saya pikir setengahnya ada di Indonesia bagian timur. Jika Anda memiliki lima penulis setiap tahunnya yang memulai inisiatif mereka sendiri untuk menelaah bahasa-bahasa mereka sendiri dan memandang mereka sebagai alat kreatif untuk menyusun cerita, maka itu adalah sesuatu. Kemudian karya-karya dalam bahasa lokal tersebut dicetak, didokumentasikan, digunakan, dan menjangkau orang-orang di luar masyarakat yang bersangkutan. 

Kami telah menerbitkan tiga volume sejauh ini. Semua cerita diterbitkan dalam Bahasa Indonesia, tetapi Anda memiliki pengalaman khusus, seperti nama-nama tumbuhan, nama-nama makanan lokal, nama-nama ingatan kolektif. Bahkan nama-nama tokohnya, nama-nama Jawa, tapi nama lokal. Jika Anda tidak memiliki kesempatan untuk menjual ide-ide ini dan meyakinkan orang-orang di Jakarta mengapa kami membutuhkan buku-buku ini, mengapa kami membutuhkan proyek ini untuk dilaksanakan, maka begitulah seharusnya organisasi budaya bekerja. Ini adalah proyek jangka panjang kami, kami ingin membayangkan dan melihat konsep Indonesia melalui budaya, melalui seni, melalui sastra, melalui film seperti apa yang Anda lakukan dengan Toraja. 

Begitulah imajinasi kami tentang Indonesia. Dalam hal topik dan tema, sangat menarik untuk melihat bagaimana para calon penulis dan penulis pemula melihat hubungan dan konstruksi sosial, ketegangan konstan pada pertanyaan “Apakah kita akan tinggal selamanya di desa kita atau kita perlu pindah ke kota?" Cerita dari petani kecil, cerita dari orang-orang yang tinggal di desa yang penuh dengan rumah kosong karena semua orang telah pindah ke Makassar. Bisnis keluarga yang terabaikan di kabupaten-kabupaten, di antara Nusa Tenggara Timur atau Nusa Tenggara Barat. Kisah-kisah ini mengungkapkan kekayaan khazanah di tiap-tiap daerah.

Writers Festival dan Rumata menyadari bahwa fungsi kami adalah untuk menyediakan dan menjembatani para penulis pemula dan calon penulis dari berbagai tempat, kota-kota dan kabupaten-kabupaten kecil di Indonesia Timur. Selama pandemi, kami telah bekerjasama dengan para penulis dari Papua dan melalui kegiatan-kegiatan virtual, saya belajar untuk pertama kalinya mengenai realitas di Papua Barat dan Timur. Ketika kami mengatakan, mari kita mengadakan rapat zoom, mereka tidak memiliki jaringan ini, mereka perlu bepergian. Tidak seperti kita, kita sangatlah teristimewakan, Anda mengirimi saya undangan zoom, dan saya dapat bergabung dengan Anda dalam ruang Zoom tersebut. Saya tidak bisa melakukan ini dengan rekan-rekan saya di Papua. Kami perlu mengatur ulang jadwal secara mingguan atau bulanan, kami perlu memastikan bahwa mereka punya uang untuk bepergian ke desa tetangga yang berbukit-bukit, sehingga mereka bisa mendaki bukit dan mendapatkan jaringan yang lebih kuat untuk terhubung. 

Salah satu acara yang berkesan, salah satu webinar virtual yang kami selenggarakan tahun lalu adalah bersama teman-teman di Papua. Mereka harus melakukan perjalanan dari desa Mappi selama dua hari dua malam ke desa tetangga, tidur di rumah teman, mempersiapkan diri untuk webinar keesokan harinya. Tetapi kami perlu memiliki rencana cadangan, jadi saya menelepon mereka melalui panggilan internasional dari Melbourne, merekam untuk backup. Keesokan harinya, yang terjadi adalah saat kami harus live webinar, tiba-tiba listrik mati. Tidak ada listrik, tidak ada laptop, tidak ada internet, hanya tersedia satu ponsel dengan baterai 50%. Jadi apa yang terjadi? Ya, acara harus tetap berlanjut. Sekali lagi, menggunakan panggilan internasional, saya menelepon mereka, saya mengubah gambar profil saya di Zoom menggunakan gambar profil penulis dan saya meletakkan ponsel saya di dekat laptop, ini di belakang layar dan tidak ada yang tahu, selama acara virtual. 

Beginilah cara Anda bercerita tentang Indonesia Timur. Saya harus berhati-hati ketika menceritakan kisah tentang Papua dan Maluku karena saya tidak ingin mengambil kredit untuk cerita-cerita ini, atau seolah-olah saya adalah perwakilan dari cerita mereka. Yang ingin saya sampaikan adalah peran apa yang dimainkan Rumata dan saya sendiri dan peran terbaik apa yang dapat saya mainkan di Melbourne untuk membantu Indonesia, melalui seni, budaya, dan sastra. Itulah perjalanan saya, untuk menavigasi apa yang sejatinya merupakan posisi terbaik bagi saya. Jika itu teka-teki, saya perlu tahu bagian teka-teki apa yang terbaik untuk saya. Saya percaya ini adalah proses kolaboratif, bukan pertunjukan satu orang. Setiap orang memiliki kontribusinya masing-masing, setiap orang perlu berkolaborasi, setiap orang perlu bekerja sama untuk mewujudkan apa yang diinginkan atau memberikan dampak. Hal-hal besar tidak datang dari satu orang saja. Hal-hal besar datang dari kolaborasi. Selama pandemi, kami belajar banyak, kami telah mencatat, kami mendengarkan cerita-cerita dari Papua, cerita pasca bencana dari Nusa Tenggara (dari badai siklon beberapa bulan yang lalu), dan setelah bencana di Sulawesi Barat, kami bekerja dengan perpustakaan lokal di sana untuk secara perlahan membangun kembali masyarakat disanan, karena infrastruktur di sana sangat buruk.

Setiap kali kami terinspirasi atau mendapatkan ide dari masyarakat adat, kami perlu memastikan bahwa kami memiliki perwakilan dari masyarakat adat sebagai anggota aktif dalam tim kami.

Afifah: Anda menyebut bahwa anda tidak ingin menjadi wakil dari isu-isu di Papua. Saya rasa sentimen tersebut cukup mirip dengan apa yang saya dan Sam rasakan untuk program ini, karena saat kami mengikuti program pertukaran ini, kami memiliki kesempatan untuk bertukar topik tentang pengarsipan dan digitalisasi untuk dua budaya, masyarakat adat di Australia dan masyarakat Toraja di Indonesia dan saya sendiri merasa tidak sepatutnya mewakili kedua budaya tersebut karena saya tidak berasal dari budaya-budaya tersebut. Saya merasa seperti mengalaminya dari balik kaca, dan terkadang saya merasa tidak mampu untuk mendiskusikan budaya dengan sejarah yang berakar dalam. Sebagai seorang penulis dan juga peneliti, apa pendapat Anda tentang pendekatan yang efektif untuk berkomunikasi dan memahami budaya lain dan kemudian melakukan penelitian berdasarkan kebudayaan lain tersebut?

 

Lily: Mungkin saya bisa berbagi apa yang telah saya lakukan selama 16 bulan terakhir. Penelitian saya sekarang ini berkaitan dengan masyarakat adat di Australia, dan saya baru saja menyelesaikan lokakarya dengan seorang profesor yang meneliti masyarakat adat di Australia selama 40 tahun. Pertama, kita perlu menghubungkan diri kita dengan masyarakat setempat, Anda harus memastikan bahwa mereka adalah penerima manfaat nomor satu dari proyek atau penelitian Anda. Anda tidak menggunakannya untuk kepentingan karir Anda atau untuk proyek Anda. Anda perlu memiliki desain yang betul-betul terstruktur dengan baik tentang bagaimana Anda dapat membawa kembali semua aktivitas, proyek, dan penelitian Anda kembali ke masyarakat, karena mereka bukanlah objek Anda. Itu nomor satu. 

Nomor dua, mereka adalah mitra aktif kami dalam penelitian. Cara kami melihat proyek ini dengan Pusat Studi Adat, adalah bahwa kami sedang membangun platform untuk memberdayakan mereka. Di Australia, banyak peneliti menggunakan metode yang salah secara budaya. Mereka menggunakan permasalahan, hak-hak, dan kesehatan masyarakat Asli untuk menarik pendanaan. Bahkan sebelum kami memulai proyek kami, kami memiliki percakapan yang mendalam di antara kami sendiri, para peneliti, tentang mengapa kami melakukan ini sekarang. Ada tiga "mengapa" di sini; mengapa ini, mengapa kami dan nomor mengapa sekarang. Kalau tidak, kami bisa saja mengulangi kesalahan masa lalu, seperti saat masa penjajahan, ketika para penjelajah Barat datang ke timur, datang ke Australia, datang ke Nusantara, mengambil semua yang mereka anggap eksotis dan membawa mereka kembali ke Eropa tanpa meninggalkan apa pun kepada kita. Mereka mengembangkan teori yang sangat canggih, tetapi kami, kami tidak termasuk. Kami tidak pernah menjadi penerima manfaat dari proyek eksplorasi ini. 

Anda melakukan proyek Anda di tengah dekolonisasi. Anda perlu membacanya, Anda harus benar-benar memahaminya. Kami adalah kelompok istimewa yang melakukan proyek ini atas nama mereka yang kurang beruntung. Anda harus membawa ini kembali kepada mereka. Jika hasil atau keluaran akhir dari proyek Anda adalah arsip, pastikan Anda memberikan akses, dan akses tidaklah cukup jika Anda tidak menindaklanjutinya dengan program penjangkauan setelahnya. Kami harus benar-benar memikirkannya, karena jika tidak, berarti kami melakukan penelitian ini hanya untuk keuntungan kami sendiri. Saya menerima hibah besar, saya mengamankan posisi saya, pekerjaan saya, tetapi lokakarya yang mengubah hidup yang kami lakukan dengan tim sebelum kami memulai proyek ini, menurut saya, adalah bagian paling penting dari penelitian itu sendiri. 

Wawancara, percakapan-percakapan yang kami lakukan, penting, tapi itu bukanlah bagian yang paling penting. Anda perlu berbicara tentang bagaimana Anda memberdayakan orang lain melalui proyek Anda. Jika belum terlambat, Anda perlu meninjau kembali proposal Anda dan bagaimana proyek Anda dirancang dan membuat sebuah checklist. Pastikan untuk mengetahui apa posisi audiens yang ditargetkan, dan siapa penerima manfaat ketika Anda mengembangkan sebuah proyek. Saya dulu melakukan penelitian saya seperti kalian; menulis proposal dan mengajukan beberapa pertanyaan penelitian, melakukan wawancara saya dan kemudian melakukan analisis setelah wawancara. Tapi ada sesuatu yang hilang di sana. Kita perlu bertanya pada diri sendiri mengapa kita melakukan ini dan mengapa kita melakukannya sekarang. 

Di sinilah Anda menempatkan penerima manfaat Anda, saat melakukan penelitian, Anda mungkin mengembangkan sebuah jaringan para penerima manfaat. Anda juga perlu mempertimbangkan keberlanjutan proyek Anda. Salah satu hal yang saya pelajari dari bekerja dengan komunitas lokal di Makassar dan Indonesia adalah bahwa mereka sangat bersemangat melakukan proyek ini setiap kali kami mengundang atau meminta mereka untuk terlibat. Namun kemudian ada kurangnya komitmen untuk dokumentasi, evaluasi dan analisis pasca proyek dan kemudian pengarsipan, sehingga mereka tidak dapat melihat kelangsungan kegiatan mereka. Anda harus selalu ingat bahwa mereka adalah tulang punggung, gambaran besar dari proyek Anda.

 

Afifah: Itu sangatlah mencerahkan.

Sam: Dan juga sangat bernilai. Kita memperoleh banyak hal untuk dibicarakan dan dijadikan bahan refleksi.

Bagi saya, ini semua soal akses. Ketika, katakanlah, kami memerlukan lebih banyak orang dari Indonesia Timur untuk bergabung dengan program pertukaran ke Australia atau ke negara lain, tetapi tidak ada tindak lanjut tentang bagaimana mengatasi masalah minimnya peserta dari Indonesia timur atau mengapa mereka tidak berhasil dalam aplikasi mereka.

 

Lily: Cukup pastikan saja kalian menyertakan para penerima manfaat dalam penelitian kalian dan pastikan mereka dapat mengakses hasil penelitian ini. Ini adalah pertanyaan nomor satu ketika kami melakukan penelitian dengan masyarakat adat. Kami tidak pernah mengambil pendekatan tradisional seperti akademisi lainnya. Apa yang ingin kami lihat di masa depan bahwa masyarakat adat di Australia ini dapat memiliki kehidupan dan akses yang lebih baik. Di kalangan seni dan budaya, kami sangat ingin menantang model-model penelitian dan produksi yang sudah ada. Setiap kali kami terinspirasi atau mendapatkan ide dari masyarakat adat, kami perlu memastikan bahwa kami memiliki perwakilan dari masyarakat adat sebagai anggota aktif dalam tim kami. Satu-satunya cara untuk melakukan transfer pengetahuan adalah melalui para pemimpin-pemimpin masyarakat adat. 

Informasi baru, pengetahuan baru, perspektif baru yang mereka peroleh selama kegiatan penelitian akan membangun jembatan baru. Begitulah cara kami memandang model-model para penulis dan pembuat film baru yang telah kami bangun dalam 10 tahun terakhir. Kami mengundang mereka setiap tahun dan membangun jembatan dengan mereka, dan kemudian ketika mereka kembali ke desa dan kota mereka, mereka membangun jembatan dengan komunitas mereka sendiri. Jika kita semua bersepakat mengenai model ini, ini adalah bagaimana kita dapat membayangkan dunia yang lebih baik bersama-sama. Kami juga mulai melihat pada aspek bahasa untuk kolaborasi-kolaborasi internasional. Saya tahu bahwa adalah penting bagi kita untuk memiliki kemampuan untuk berbicara dalam bahasa Inggris, tetapi sekarang saya menantang pemikiran semacam itu, saya katakan tidak. Jika Anda ingin berbicara dengan orang-orang di Indonesia Timur saat ini, Anda perlu melihat bagaimana sistem pendidikan di Indonesia bekerja. Jika anda berada di tingkatan tertinggi dalam masyarakat, anda akan mendapatkan pendidikan yang terbaik. Tetapi jika Anda tidak termasuk dalam kelompok tersebut, bagaimana Anda bisa cukup mahir berbahasa Inggris untuk memenuhi persyaratan untuk bekerja dengan peneliti lokal? Kami menantang model lama semacam itu.

 

Sam: Saya sendiri sangat mengapresiasi bahwa kalian menggunakan Bahasa Inggris dalam wawancara ini!

 

Afifah: Saya masih memiliki satu pertanyaan lagi, jika diperkenankan, mengenai keterlibatan anda dalam kegiatan kesenian antara Melbourne dan Makassar. Anda telah melakukan semua proyek-proyek lintas budaya ini dengan latar belakang dan tujuan yang berbeda-beda. Apa pemikiran anda tentang esensi dari hubungan bilateral atau, apakah hal kunci yang anda secara pribadi peroleh dari melakukan segala inisiatif-inisiatif tersebut?

 

Lily: Bagi saya, ini semua soal akses. Ketika, katakanlah, kami memerlukan lebih banyak orang dari Indonesia Timur untuk bergabung dengan program pertukaran ke Australia atau ke negara lain, tetapi tidak ada tindak lanjut tentang bagaimana mengatasi masalah minimnya peserta dari Indonesia timur atau mengapa mereka tidak berhasil dalam aplikasi mereka. Salah satu hal kunci yang saya peroleh disini adalah bagaimana mengatasi penyebab masalah ini. 

Pertama, saya berpikir tentang kurangnya informasi, tetapi kemudian saya pikir kita perlu mengambil tindakan pencegahan untuk ini. Kami memiliki proyek eksperimental dengan Center for Stories di Perth, dimana mereka sudah mengetahui tentang Makassar International Writers Festival dan proyek-proyek mengenai masyarakat Asli Australia yang telah saya lakukan dengan Monash University dan University of Melbourne sebelumnya. Saya memberi tahu mereka jika Anda benar-benar ingin melihat kesetaraan, akses yang setara, mengapa kita tidak memulai model eksperimental dengan pertukaran ini sehingga tindakan pencegahan kami saat itu, pada tahun 2018, adalah merumuskan model pertukaran; pertukaran tersebut hanya terbuka untuk penulis wanita dari Indonesia Timur dan penulis wanita dengan latar belakang budaya yang beragam dari Australia Barat. Kami membuatnya lebih spesifik untuk menantang masalah akses yang setara. Program ini berjalan dengan sangat baik, karena bahkan sebelum kami memanggil para peserta di Makassar, kami telah menyiapkan serangkaian lokakarya, seperti bagaimana melakukan persiapan dan bagaimana membuat pengajuan untuk program pertukaran. Saya sendiri secara pribadi melakukan serangkaian program pendampingan bagi para calon peserta. 

Itulah hal yang benar-benar ingin saya lakukan lebih banyak di masa depan, untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan ini. Maksud saya, seperti dalam kompetisi olahraga, Anda perlu memastikan bahwa para atlet bertanding pada liga yang sama. Mengenai model pendidikan di Indonesia, Afifah pasti sudah paham dan pernah mendengar tentang ketimpangan pendidikan dan lain sebagainya. Kami menantang hal-hal tersebut. 

Proyek eksperimental lainnya yang kami lakukan adalah dengan Konsulat Inggris pada tahun 2019. Kami melakukan pertukaran antara dua kota, bagi orang-orang dari kedua kota yang menggunakan bahasa lokal sebagai alat komunikasi dalam karya kreatif mereka. Kami memberikan kesempatan yang sangat spesifik ini untuk menjawab pertanyaan "apakah kita masih menggunakan bahasa lokal kita hari ini sebagai alat komunikasi dan jika demikian, dapatkah kita menghubungkan orang-orang ini dalam lingkungan lintas budaya?" 

Kami datang dengan ide lain tentang inklusivitas pada tahun lalu, 2020, dimana kami meluncurkan program residensi online khusus untuk kelompok masyarakat tunarungu. Eksperimen itu sendiri cukup spesifik. Kami membayangkan bagaimana jika seorang tunarungu yang bercita-cita menjadi penulis diberikan ekosistem yang sehat seperti yang saya lihat di Melbourne. Ekosistem yang sehat berarti Anda memiliki Pusat Penulis, bukan?. Sam tentu tahu Pusat Penulis Wheelers. Kami ingin menyediakan pendanaan, tunjangan, project officer, juru bahasa isyarat, tiga seniman visual yang membantu Anda mengekspresikan apa yang ingin Anda katakan selama residensi. Kami membentuk semacam "tim impian" untuk para penulis tersebut. Tiga ilustrator, dua mentor, sekretaris, kantor, banyak buku untuk dibaca. Kami membuat model mikro ini, sebuah proyek percontohan, seperti apa yang terjadi jika seorang seniman atau pembuat film atau penulis atau produser budaya hidup di dunia yang ideal dengan sistem lingkungan yang sehat. Kami telah melakukan ini sekarang selama enam bulan, dan kami senang melihat hasilnya. Setiap kali kami pergi ke Indonesia, kami terus mendengar keluhan dari para seniman, penulis, pembuat film. Banyak yang mengeluhkan ketiadaan sistem gema tidak ada, kurangnya pendanaan, tidak adanya transparansi, ketiadaan model daya saing, tidak adanya kemauan politik dari pemerintah dan sebagainya. Jadi, kami menyiapkan ekosistem kecil ini untuk satu sutradara selama enam bulan dan kami ingin melihat apa yang akan terjadi.

 

Afifah: Sungguh suatu pendekatan yang sangat spesifik dan sangat menarik terhadap kebutuhan akan inklusivitas di indonesia, sungguh sangat penting. Apa yang anda katakan sangatlah mencerahkan bagi saya!

 

Lily: Dan pada siapa terletak tanggung jawab untuk memantau akses ini dan membuat mereka yang sebelumnya tidak terlihat menjadi terlihat. Pada siapa terletak tanggung jawab untuk memastikan bahwa semua orang perlu dilibatkan dalam radar yang sama.

Sam: Terima kasih banyak atas waktu dan wawasan Anda hari ini Lily, dan untuk semua dukungan selama beberapa tahun terakhir!