6.7.2021
Wawancara bersama Dirmawan Hatta

Wawancara bersama Dirmawan Hatta

Dirmawan adalah seorang sineas, penulis skenario dan salah satu pendiri Tumbuh Sinema Rakyat yang berbasis di Jawa Tengah.

Lahir di Jawa Tengah pada 1975, Dirmawan Hatta adalah seorang penulis skenario, peneliti, dan sutradara. Sejak debutnya dengan dokumenter The Story of Pink People (2000) karya-karya film beliau telah diputar di seluruh Indonesia. Pernah bekerja sama dengan tokoh-tokoh sinema Indonesia seperti Garin Nugroho dan putrinya Kamila Andini, Dirmawan memiliki minat sinematik yang kian berkembang dalam keragaman budaya yang meliputi Kepulauan Indonesia. Ia adalah salah satu pendiri dari inisiatif Tumbuh Sinema Rakyat, sebuah proyek yang menyelenggarakan workshop penulisan skenario, pelatihan pembuatan film dan program pembuatan film secara partisipatif di berbagai komunitas terpencil dan terpinggirkan di Indonesia. Tumbuh Sinema Rakyat bekerja sama dengan komunitas, lembaga swadaya masyarakat, produser industri film, penggemar seni & pengembangan masyarakat, maupun akademisi dan aktivis sosial dalam pembangunan, produksi dan penyebaran film di berbagai ranah minat. 


Kami diperkenalkan dengan praktik film Dirmawan Hatta dan juga karyanya dengan Tumbuh Sinema Rakyat berkat rekomendasi Hikmat Darmawan yang menyarankan agar kami menghubungi Dirmawan usai berdiskusi tentang praktik sinema alternatif dan penggambaran masyarakat adat di perfilman Indonesia. Menurut Hikmat, film Istri orang yang dibuat oleh sebuah komunitas kecil di Kangean yang difasilitasi oleh Dirmawan merupakan salah satu pencapaian terbesar perfilman Indonesia semenjak satu dekade terakhir, ini berkat metode pembuatan film partisipatif yang diterapkan Tumbuh Sinema Rakyat. Menonton Istri orang dan berdiskusi bersama Dirmawan merupakan sebuah ajaran yang sangat berharga bagi kita. 

Kami kerap mempertanyakan persoalan representasi dan partisipasi selama penelitian dan pembuatan karya kami. Bagaimana cara yang terbaik untuk melibatkan komunitas yang terwakili dalam proses pembuatan film? Dan seperti apa wujud partisipasi yang menyeluruh itu? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang dijawab dan ditangani melalui pendekatan yang diterapkan Tumbuh Sinema Rakyat dalam praktik produksi film mereka, yang bertujuan untuk melepaskan diri dari cetakan arus film industri, dan mempertanyakan struktur maupun hirarki yang ada pada metode pembuatan film industri.

Dalam wawancara kami dengan Dirmawan, ia membahas prinsip dan metode Tumbuh Sinema Rakyat serta hadangan teknis dan bias budaya yang dialaminya. Filosofi yang mendasarinya selalu tentang pemberdayaan penceritaan naratif komunitas melalui fasilitasi pembuatan film yang mengutamakan suara para peserta, mulai dari menulis hingga casting, syuting, editing dan bahkan strategi distribusi. Dirmawan menegaskan bahwa peran bahasa sangat penting sebagai prinsip yang mendasari representasi diri dalam media dan film, dan juga krusial dalam praktik sinema mereka.

Mendengar pengalaman Dirmawan memotivasi kami untuk berpikir tentang kolaborasi dengan cara baru, tentang bagaimana kami dapat melibatkan kolaborator kami di Toraja secara lebih aktif dan bermakna. Sangat melegakan mengetahui adanya sosok sineas seperti Dirmawan Hatta dan organisasi seperti Tumbuh Sinema Rakyat yang memproduksi film secara teratur dan berbuah sukses.

Terima kasih untuk obrolan yang menginspirasi, Dirmawan. Kami berharap dapat tetap bisa saling berhubungan, dan kami juga tidak sabar untuk mengikuti kegiatan anda yang akan datang.


Sam: Terima kasih telah bergabung bersama kami, kami sangat menghargai Anda karena sudah meluangkan waktu. Kami punya beberapa pertanyaan tapi kami ingin ini jadi diskusi terbuka. Silahkan kalau anda punya pertanyaan atau opini tentang kegiatan kami


Dirmawan: Terima kasih! Jadi, kenapa kalian memilih Makassar untuk proyek ini?


Sam: Sebelum berangkat ke Toraja, kami bertemu banyak orang di Makassar atas bantuan dari Rumata Artspace, banyak dari mereka adalah anak muda dan seniman muda.


Dirmawan: Oh iya, saya tahu tentang (Rumata Artspace).


Sam: Alasan kami ingin berhubungan dengan seniman di Indonesia karena kami merasa perspektif kami mengenai Toraja tidak terlalu menarik dan mendalam tanpa adanya kontribusi dari sineas Indonesia. Maka dari itu, kami mulai berdiskusi dan bekerja sama dengan sineas-sineas muda dari Makassar, dan ada satu orang khususnya, semakin kami terinspirasi dalam praktik sinema kami itu kemudian berevolusi menjadi sebuah pertukaran. Kami juga bekerja dengan seorang videografer di Toraja. Kemudian ini menjadi sebuah pertukaran antar tiga pembuat video. Dan, kami bertemu Afifah karena ia memiliki Bahasa Inggris yang baik dan juga memiliki kegemaran yang sama dengan kita pada sinema.

Maaf, apa anda saat ini di Jakarta?



Dirmawan: Tidak, saat ini saya berada di Magelang yang berjarak sekitar 40-50 kilometer dari Jakarta. Letaknya dekat dengan Yogyakarta.

Apakah alasan dibalik anda memilih Toraja berkaitan dengan ide bahwa Toraja masih bergantung pada tradisi-tradisi oral? Maka, sebuah proyek yang melibatkan video dan pembuatan gambar menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kalian di Australia? Anda sebelumnya menyebut tentang arsip digital sebagai medium untuk mentransfer pengetahuan. Ketika orang-orang tidak mempunyai teks tertulis, seluruhnya hanya penuturan lisan, maka video menjadi krusial, apakah itu alasannya?


Sam: Secara teoritis, itulah yang membuat kami tertarik. Namun secara material ada perbedaan yang sangat menarik antara penyebaran pengetahuan lokal dan kultural melalui video dan tradisi oral (dituturkan secara lisan), bagaimana praktik itu melestarikan budaya, tradisi, dan sebuah pengetahuan dan bagaimana hal itu merubah bagaimana orang-orang memahaminya. 


Dirmawan: Bagi saya pribadi, akan lebih menarik jika ada pascakolonialisme yang terlibat di dalamnya. Bahkan di lokasi dimana kamimengadakan workshop di Jawa, kami selalu menganggap sejarah tertulis sebagai sesuatu yang langka. Jawa adalah pusat pengetahuan di Indonesia, kurang lebih seperti itu, hanya saja kami masih sangat bergantung pada sejarah lisan, khususnya ingatan-ingatan orang tua. Kadang kala orang-orang tua tidak mau mengingat kembali kenangan tentang persoalan tertentu, jadi sangat menarik bagiku ketika seseorang mencoba untuk menginvestigasi dinamika sejarah lisan. 


Sam [0:11:00] Kami sangat tertarik pada ide memori dan pembuatan memori secara kolektif. Dari pengalaman pribadi saya, banyak yang saya anggap sebagai memori adalah kenangan-kenangan ketika saya menonton video dan melihat foto, saya kemudian mengingat lokasi dan kejadian tertentu karena saya menontonnya sebagai anak kecil. Dinamika gambar baru ini menciptakan memori dan kemudian mampu melestarikan gambar dan memori itu dalam satu perspektif tertentu. 


Dirmawan: Ini yang saya pahami setelah menonton video-video yang kalian kirim ke saya beberapa hari yang lalu: ada sebuah tradisi Toraja, kemudian ada seorang videografer Toraja yang merekam tradisi-tradisi ini dengan kamera, dan ada seorang sineas Australia yang membuat video tentang videografer Toraja tersebut. Apakah itu benar?


Sam: Ya, itu pada dasarnya betul.

Aku membayangkan bahwa film juga akan punya peran yang lebih banyak daripada sekedar hanya tontonan.

Afifah: Saya dan Sam telah membaca resume Tumbuh Sinema. Disitu tertulis bahwa konsep Tumbuh Sinema bangkit dari empat sahabat dengan latar belakang film yang terdorong untuk mengeksplorasi pembuatan sinema yang berorientasi keadilan sosial dan didorong atas nilai-nilai kemanusiaan. Mungkin Bapak Dirmawan bisa menjelaskan bagaimana Tumbuh Sinema pertama kali muncul dan bagaimana ide ini membuat kalian berempat untuk tergerak?


Dirmawan: Tiga dari kami adalah pekerja film di Jakarta yang berkecimpung dalam 'industri'. Pekerjaan kami membuat film pertama kali datang dari kesenangan kami membuat film dimana peluang-peluang yang diberikan industri itu tidak memuaskan. Misalnya, kami selalu terlibat dengan proyek yang kurang lebih membuat film tentang suatu daerah, misalnya Makassar, namun dilihat dari sudut pandang orang Jakarta. Nah, bagaimana cari kami untuk keluar dari lingkaran itu? Maka kemudian kami mencoba membayangkan sebuah proses produksi yang lebih banyak melibatkan si yang di-filmkan dengan kami para pembuat film. Maka kemudian lahirlah istilah Workshop Sinema Rakyat itu tadi. 

Pembuatan film yang saya pribadi tempuh dari 2002 sampai 2015 itu tidak memuaskan. Kesempatan-kesempatan industrialnya tidak terlalu memenuhi apa yang kami bayangkan tentang pembuatan film. Sementara, dari perjalanan itu juga ada banyak permasalahan yang bisa dibicarakan dari apa yang kami saksikan di seluruh pelosok Indonesia. Kami melihat bahwa keberagaman Indonesia luar biasa, dan bukan semata-mata kekayaan visual atau budaya sebagaimana yang ditampilkan di brosur parisiwata. Dan kami merasa bahwa kalau terus menerus orang Jakarta mewakili orang-orang daerah untuk membicarakan apa yang dibayangkan sebagai Indonesia, maka, ini problemnya besar sekali dan problem itu akan muncul terus menerus. Jadi, bagaimana caranya film dapat dijadikan sebuah cara untuk memberlangsungkan percakapan yang lebih adil diantara kita sesama bangsa Indonesia. Sampai itu terjadi, aku rasa yang namanya ketidakadilan itu akan terus menerus berlangsung. 

Afifah: Menurut Bapak Dirmawan secara pribadi, mengapa praktik (di Workshop Sinema Rakyat) yang dimana terdapat keterlibatan partisipan dan masyarakat tertentu dianggap saat penting untuk dilakukan?


Dirmawan: Tidak ada yang bisa merepresentasikan, misalnya dalam contoh film Istri Orang, tentang persoalan mereka kecuali orang-orang Kangean itu sendiri. Setidaknya dari sudut pandang pembuatan film, ya. Kalau sebuah film itu dinyatakan dalam Bahasa Indonesia, contohnya, maka dia akan memiliki dimensi yang sangat berbeda ketika dia dinyatakan dalam Bahasa Kangean. Siapakah penutur Kangean terbaik? Tentu saja orang-orang asli Kangean. Maka penting untuk melibatkan mereka, setidaknya dalam bahasa dimana mereka bicara sehari-hari. Itu yang kami bayangkan. Sementara pendekatan film ini di satu sisi adalah fiksi namun juga berangkat dari fakta, dari apa yang terjadi sesungguhnya dari tanah air dari kelahiran fiksi ini. Maka, masyarakat Kangeanlah yang tepat untuk menceritakannya. 

Kalau kemudian praktik ini tidak terjadi, kalau kita beralih ke suatu produksi film contohnya, maka akan selalu Orang Jakarta yang datang ke daerah dan mengalami benturan dengan daerah itu. Selalu ada orang Jakarta, atau orang Indonesia (yang bukan masyarakat lokal). Yang orang Indonesia ini juga masih samar-samar, karena kebetulan suara terbesarnya datang dari Jakarta, maka kebanyakan dari mereka berasal dari Jakarta. Denias (2006) salah satunya. Film itu melibatkan seorang karakter guru yang dikirim dari luar daerah, dan penggambaran sangat sering terjadi. Menurut saya, persoalan kebahasaan adalah yang utama dan harus diatasi terlebih dahulu.

Maka, ketika kemudian ada keinginan untuk membuat sebuah workshop dimana partisipannya juga berperan sebagai pemain, kru, ataupun sutradara, maka kami berharap bahwa itu akan memiliki tanggapan yang lebih tulus terhadap apa yang kami sampaikan tentang daerah itu.


Afifah: Waktu saya masih kecil, saya ingat menonton film yang mewakili kisah orang-orang di daerah terpencil; sering ada keterlibatan, apakah itu karakter atau aktor, dari ibukota.


Dirmawan: Betul. Aku juga bahkan terlibat dalam project-project seperti itu, salah satunya Laut Bercermin (2011) karya Kamila Andini, tetap ada Reza Rahardian yang terbingung-bingung berhadapan dengan anak-anak Bajo. Kita (di Indonesia) perlu lebih jauh dari itu.


Sam: Saya rasa pertanyaan saya untuk Anda lebih tentang sejarah pribadi anda dan bagaimana anda bisa berada di tempat anda memulai. Saya tahu bahwa Pak Dirmawan adalah seorang penulis dan pembuat film. Bagaimana anda bisa bekerja di industri film dan fiksi dengan produksi film yang industrial, dan kemudian memindahkannya ke praktik anda saat ini. Bagaimana anda bisa sampai ke sana?


Dirmawan: Seperti apa yang sudah saya sampaikan ke Afifah, ini adalah bagian dari pencarian kreatif saya secara pribadi. Sebagai salah satu orang Indonesia, saya membayangkan bahwa saya memiliki banyak sumber daya budaya, namun kemampuan saya sebagai seorang kreator untuk menciptakan semuanya sendiri itu sangat terbatas. Jadi, saya ingin memperluas cakrawala kreatif dengan memungkinkan peserta workshop kami untuk bekerja sama. Sebagian dari diri saya mengatakan bahwa sinema industrial itu sangat terbatas. Saya tidak bisa mengajukan sebuah cerita dengan karakter-karakter yang, contohnya, dimainkan oleh orang-orang asli Papua atau Makassar. Selalu ada keterkaitan Jakarta di sana-sini. Saya ingin lebih tulus dengan film-film saya, itulah sebabnya saya mengadakan workshop Sinema Rakyat.

Jadi ini lebih kepada ketidakpuasan personal. Aku membayangkan bahwa film juga akan punya peran yang lebih banyak daripada sekedar hanya tontonan. Seperti itu, Mba. Artinya di dalam workshop itu bukan hanya sekedar menyalurkan pengetahuan atau keahlian dalam pembuatan film, tapi juga bagaimana mereka terlibat dalam isu-isu mereka dan seterusnya, yang memungkinkan mereka untuk membuat pendapat-pendapat kritis tentang permasalahan di kehidupan sehari-hari mereka. 


Afifah: Saya juga temukan di resume bahwa workshop keempat yang diadakan di Sulawesi Tengah sempat menghadapi berbagai tantangan, baik itu permasalahan geografis bahkan temanya itupun sendiri. Bagaimana Sinema Rakyat sebagai pihak eksternal yang berkolaborasi dengan teman-teman di Sulawesi Tengah beradaptasi terhadap tantangan-tantangan tersebut? Mungkin lebih tepatnya, bagaimana proses kru Sinema Rakyat memberikan mediasi dalam menghadapi tantangan tersebut?


Dirmawan: Kasus di Sulawesi Tengah itu sangat unik, karena pada dasarnya film yang dihasilkan itu adalah sebuah film yang bisa dibilang mengejek diri mereka sendiri. Premisnya berdasarkan kisah nyata dimana ada satu orang yang menipu hampir satu kecamatan. Ada banyak pihak yang terlibat disana, personal dan baik itu birokrat termasuk pak camat yang juga dikena tipu. Jadi, ketika film itu selesai dan ditonton, anehnya screening ini tidak menimbulkan begitu banyak gejolak yang sesungguhnya mengherankan kami. Malahan, aku merasa bahwa itu menjadi sebuah outlet untuk memenuhi ketidakpuasan mereka terhadap persoalan yang tidak bisa mereka atasi sepenuhnya.

Kalau tantangan di dalam workshop sendiri, yang pertama adalah tantangan alam, itu sudah jelas. Kedua, karena kami harus membuat bootcamp yang dimana peserta harus berkumpul di waktu yang cukup lama jadi mereka harus meninggalkan pekerjaan mereka. Namun, permasalahan-permasalahan itu tidak terlalu signifikan, permasalahan lainnya hanya perihal jadwal, ketersediaan kru, dan sebagainya. Nah, kenapa kemudian kami bisa "memenangkan kepercayaan" para peserta ini untuk bisa mengolah persoalan itu? Ini adalah peran yang sangat penting yang diberikan oleh host kami. Host kami ini dipercaya oleh pihak disana. Seringkali, host inilah yang menentukan apakah workshop itu akan berjalan dengan lancar atau tidak.


Jika terus menerus orang Jakarta mewakili orang-orang daerah untuk membicarakan apa yang dibayangkan sebagai Indonesia, maka, permasalahan ini sangatlah besar dan akan muncul terus menerus. Bagaimana caranya film dapat dijadikan sebuah cara untuk memberlangsungkan percakapan yang lebih adil diantara kita sesama bangsa Indonesia. Sampai itu terjadi aku rasa yang namanya ketidakadilan akan terus menerus berlangsung. 

Afifah: Saya pernah membaca jurnal oleh Kurniawan Adi Saputro yang mengambil studi kasus Tumbuh Sinema Rakyat. Dan sepemahaman saya dari jurnal itu, partisipan sangat sentral dalam proses produksi termasuk pemilihan tema. Maka ketika menonton film itu, timbul kesadaran atau anggapan bahwa yang ditonton itu adalah hal yang lumrah.


Dirmawan: Benar. Jadi cara workshop kami begini: kami akan menggali cerita dari peserta kemudian secara teknik fasilitasi, kami akan membuat sejumlah pilihan tema yang bisa dikembangkan, dilihat dari sudut pandang teknis film ini, mana yang dapat dikerjakan dan mana yang tidak. Kemudian kita berbicara dengan daya tarik atau urgensi dari tema itu, dan seterusnya. Tentu saja partisipan memiliki banyak tema, banyak topik dan banyak kisah. Tapi perihal hal itu, kami dari Tumbuh Sinema Rakyat menganggap bahwa kami memiliki tugas untuk membuat koridor cerita. Nah, maka pembuatan cerita ini menjadi satu titik krusial yang memakan waktu lebih banyak dibanding pembuatan filmnya. Karena kami terus menerus mendiskusikan apakah persoalanini penting atau tidak? Bagaimana ini bisa diwujudkan? kita punya pemain diantara teman-teman workshop - siapa yang bisa, dan seterusnya. Pembicaraan yang teknis sekali dalam menentukan eksekusi film.

Kasusnya berada dengan film Istri Orang di Kangean. Host kami justru menginginkan kami untuk berbicara perihal pariwisata. Yang memang merupakan sebuah program dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengirim kami kesana. Namun ketika kami sampaikan di workshop, kami menemukan bahwa pariwisata ini hanya program dan tidak berlangsung dalam dinamika para peserta workshop. Nah, yang kemudian muncul adalah persoalan perjodohan, pernikahan, asal pekerja, yang kemudian menghasilkan karya Istri Orang. Jadi ada berbeda-beda kasusnya.


Sam: Apa saja kegiatan anda saat ini?


Dirmawan: Kami tidak dapat melanjutkan proyek kami sebelumnya karena pandemi. Saat ini, kami memiliki proyek di Kulon Progo, yang jaraknya empat puluh kilometer dari base kami. Dan terlepas dari masalah pandemi, kami berpikir untuk membuat sebuah proyek permanen. Alih-alih membuat satu film di satu lokasi dan kemudian kembali ke Jawa, kami akan menyelidiki lebih dari 'isu media', karena kami percaya media saling berhubungan dengan masalah ekonomi, politik, dan lainnya.


Sam: Apakah anda tinggal di dekat Jogjakarta?


Dirmawan: Saya tinggal di Magelang, sekitar empat puluh kilometer dari Jogja. Sedangkan Kulon Progo adalah satu daerah di provinsi Jogjakarta.


Sam: Asal anda sendiri dari mana? Apakah Magelang?


Dirmawan: Betul, sekitar satu jam dari lokasi kami di Kulon Progo. 


Sam: Sebelumnya Anda membahas tentang urgensi tema. Apakah anda bisa jelaskan apa yang dimaksud dengan “urgensi”? Urgen relatif terhadap apa?


Dirmawan:Terhadap keprihatinan para peserta. Contohnya ketika kami membuat film Istri Orang di Kangean, host kami menyuruh kami untuk menciptakan sebuah film tentan pariwisata karena mereka memiliki agenda untuk mempromosikan destinasi wisata lokal terbaru di desa mereka. Namun, menurut saya itu adalah siasat dari pemimpin namun tidak diikuti oleh masyarakat. Jadi, dalam workshop kami sehari-hari, kami menemukan isu penting bagi para partisipan. Ada tentang pernikahan muda yang di mana seorang gadis di bawah umur dipaksa untuk menikah oleh orang tuanya. Juga tentang kemiskinan, apa yang mereka pikirkan tentang masa depan mereka. Itulah yang menciptakan Istri Orang.


Sam: Saya tidak sabar untuk menontonnya! Yang saya juga ingin tahu adalah bagaimana Anda memahami penonton. Ketika anda membuat film di komunitas, ketika anda mengajak komunitas tersebut untuk berpartisi di dalam pembuatan film, penonton apakah yang ada di pikiran anda? Bagaimanakah anda mengkomunikasikan gagasan tentang audiens atau peran audiens bagi para peserta?


Dirmawan: Ok, saya rasa itu pertanyaan yang cukup rumit. Jadi, kami sudah membuat film dengan sudut pandang tertentu yang unik jika dibandingkan dengan pendekatan industrial. Proses pembuatan film kami bisa diikuti oleh kebanyakan orang, orang-orang non-profesional, untuk menyampaikan cerita mereka. Tapi kami masih harus mendistribusikan film itu. Hal itu yang menjadi pertanyaan besar yang belum dapat dijawab dan saat ini menjadi tugas besar kami. Kami telah menemukan beberapa festival dan pemutaran spesial dari orang-orang yang telah menawarkannya kepada kami. Idealnya, kami akan mengadakan festival film desa. Jadi akan diadakan beberapa pemutaran di berbagai desa, dan mereka bisa saling menukarkan film ataupun mengkurasi film-film yang relevan dengan kehidupan di tempat pemutaran itu diadakan. 


Sam: Sebagian dari pertanyaan saya juga tentang bagaimana Anda berbicara seputar distribusi dengan para peserta. Bagaimana anda menyampaikan perihal penyebaran kepada peserta dan seperti apa reaksi mereka? Seperti misalnya anda mengatakan, “kami berharap film ini dapat disaksikan oleh banyak orang-orang di Indonesia atau bahkan di belahan dunia”, dan bagaimana penggarapan itu terjadi.


Dirmawan: Ide awal kami adalah menayangkan film itu di desa mereka. Tapi kami juga menginformasikanbpara peserta tentang peluang untuk menayangkan film itu di tempat-tempat lain, seperti di berbagai daerah di Indonesia dan pemutaran-pemutaran spesial. Dan kami juga berharap dapat memutar film-film lain dari berbagai wilayah Indonesia di desa mereka. 

Para peserta cenderung tidak menyadari bagaimana distribusi berjalan, atau peluang yang dimiliki oleh film mereka sendiri. Jadi kami tidak memberi tahu terlalu banyak tentang festival film ataupun pemutaran megah, tapi jika suatu saat kami dapat, kami beritahu mereka. 


Sam: Ketika kita berbicara mengenai maksud dan tujuan sebuah film, tentu kita ingin menunjukkan film itu kepada teman-teman dan komunitas kita, namun kami juga ingin membagikannya ke komunitas lain. Itu adalah bagian dari pertukaran budaya, hanya saja festival film dan hal-hal seperti itu rumit untuk dijelaskan.


Dirmawan: Host kami menyelenggarakan sebuah acara besar di ibukota kabupaten untuk pemutaran pertama Jalan Raya Pipikoro (2018), dan ada lebih dari tiga ribu orang yang datang untuk menonton film itu di alam terbuka. 


Sam: Pertanyaan selanjutnya tentang bagaimana Anda bisa bekerja di satu komunitas tertentu dan memutuskan untuk tidak bekeja di komunitas lain. Bagaimana anda memutuskan untuk melakukan kerja sama dengan daerah tertentu dan kenapa memilih mengadakan workshop di sana?


Dirmawan: Kami tidak memilih lokasi untuk Jalan Raya Pipikoro (2018) di Sulawesi Tengah, Istri Orang (2018) di Kangean, Sebelum Berangkat (2019) di Sumba, maupun Di Tepi Kali Progo (2019) di Kulon Progo. Kami punya sponsor dan mereka yang menentukan program-program di lokasi tertentu. Pada dasarnya itu bukan hak kami untuk memoriesh, tapi kami selalu menyediakan setiap peserta dengan program dan kegiatan yang sama. Contohnya di Sumba, sebagian besar dari peserta adalah orang dewasa, sedangkan di Kangean hampir semuanya anak muda, dan Kulon Progo adalah gabungan keduanya. Jadi kami tidak memilih lokasi-lokasi tersebut, seseorang memilih untuk kami dan mengirim kami kesana. 


Sam: Siapa yang menjadi sponsor anda?


Dirmawan: Sebuah program LSM bernama Program Peduli yang juga didanai oleh Kementerian Perdagangan dan Luar Negeri Australia. 


Sam: Menarik!


Dirmawan: Mereka mendukungnya melalui Asia Foundation, pihak yang menggelar inisiatif Peduli Lindungi yang juga mendukung program bernama Social Inclusion. Mereka mengangkat tujuh permasalahan, beberapa di antaranya mengenai gender, isu-isu LGBTQ+, agama masyarakat adat, dan masyarakat adat di daerah terpencil.

Kami mengajukan sponsor untuk kegiatan kami dan mereka menerimanya untuk membuat film-film tersebut. Mereka yang menentukan lokasi dan isu nya untuk kami, sedangkan pendekatan dan bagaimana kita menghadapi isu tersebut bergantung pada kami karena para sponsor terkadang tidak dapat memahami apa yang dimaksud dengan participatory filmmaking atau lebih memilih untuk menyaksikan dari jauh dan melihat apa yang kemudian terjadi. Bagi mereka, ini seperti sebuah proyek eksperimental. 

Siapa sih kita sebelum jadi orang Indonesia? Siapa sih kita sebelum jadi pembeli yang baik dari pasar dunia ini? Media memberikan kita kesempatan untuk berekspresi dan bersikap kritis, dan aku yakin itu akan memperkuat identitas kita.

Sam: Hebat. Jadi, apa itu memberikan anda lebih banyak kebebasan?


Dirmawan: Ya! Tentunya banyak kebebasan. Kami sekedar diberikan anggaran, lokasi, dan suatu isu. Kami malahan membuat film lain meskipun disuruh menggarap film tentang isu turisme di Kangean, dan pihak sponsor pun biasa saja. 


Afifah: Film itu terlihat sangat berbeda dengan apa yang seseorang bayangkan tentang turisme. Ketika kita memikirkan tentang film turisme, iklan-iklan yang akan kemudian muncul di kepala. Sedangkan bagi saya, Istri Orang adalah sebuah karya yang tulus. Saya pernah membaca beberapa ulasan, salah satunya oleh Leila S. Chudori untuk Tempo, dan tulisannya memikat saya untuk segera menonton filmnya. Apakah film ini masih diputarkan atau akan diputarkan lagi di lebih banyak festival?


Dirmawan: Tidak diputarkan lagi. Perihal distribusi, kami belum punya jalan untuk melakukannya secara sungguh sungguh. Yang seperti aku bilang sebelumnya, ini masih menjadi pembelajaran kami. Untuk Jalan Raya Pipikoro dan Istri orang itu proses yang sangat leluasa, dalam artian, "oke, kru yang satu akan ke Pipikoro dan yang satunya akan berangat ke Kangean. Disana ada masyarakat agak terpencil yang terpenuhi di Jalan Raya Pipikoro. Namun di Kangean, buatlah tentang kelompok sadar wisata,” tang sesungguhnya tidak ‘bunyi’ sama sekali ketika kami sampai disana, kemudian kami menggagaskan hal lain dan tanggapan mereka baik-baik saja. Aku rasa ini juga bagian dari.. Seakan ada suasana gitu loh, Mba Afifah, bahwa mereka juga masih meraba-raba, apa sih Sinema Rakyat ini? Kira-kira seperti itu. Jadi, mereka cenderung untuk terima jadi.


Afifah: Seiring berjalannya banyak film dan workshop, apakah pihak sponsor tidak pernah melakukan evaluasi? Apa itu tidak akan menjadi masalah ketika mereka sadar bahwa hasil akhirnya berbeda dengan apa yang direncanakan di awal?


Dirmawan: Tidak jadi masalah, bahkan aku merasa kegemparan yang muncul melampaui masalahnya. 

Kalau yang berkaitan dengan Kulon Progo dan Sumba, yang dimana kita ditugaskan oleh Asia Foundation, kami sama-sama sadar bahwa kami juga sepatutnya membuat program yang dibarengi screening dan distribusi. Itulah yang luput dan kami sadari. Bahkan jika kami mau meneruskan sudah percuma karena programnya sudah selesai. 


Sam: Apakah ada minat untuk menayangkan film-film Sinema Rakyat untuk penonton bioskop Indonesia yang lebih luas? Bukan sekedar pemutaran khusus atau festival, tapi untuk distribusi masyarakat umum.


Dirmawan: Terkhusus untuk film Istri Orang, karena adanya exposure di festival, salah satu perusahaan OTT (Layanan Over-The-Top) menghubungi kami untuk membeli film tersebut. Namun ketika kami menghubungi pihak Asia Foundation, mereka tidak bisa memberikan kami jawaban karena ada pihak asing lain yang juga mendanai film ini. Dengan demikian, mereka tidak dapat menyelesaikan proses transaksinya. Dan bahkan jika kami menjualnya, uangnya untuk diapakan? Itu adalah salah satu problema kami, karena kami pikir jika menjualnya untuk penayangan seperti OTT atau VOD (Video on Demand), maka distribusinya akan lebih luas. Upaya kami agar orang dapat memahami permasalahan masyarakat Indonesia dapat disebarkan di kanal yang lebih besar. Memang sangat mengecewakan, tapi itulah problematika kami. 


Sam: Apakah permasalahan ini juga merujuk pada kekayaan intelektual? Karena ada sangat banyak penulis yang terlibat, aspek ini baru terpikirkan oleh saya.. Ide bahwa sebuah produk film adalah milik produser, sutradara, dan pemilih hak cipta. Dalam kasus seperti itu, siapa yang menjadi pemilik kekayaan intelektual? Siapa ‘penulisnya’?


Dirmawan: Saya tidak terlalu mempermasalahkan kekayaan intelektual karena film ini didanai oleh dana asing, yang diberikan oleh salah satu kementerian di Indonesia yang melibatkan penyandang dana, Asia Foundation, dan salah satu LSM Indonesia. Uang itu terlalu rumit untuk didefinisikan maupun siapa pemiliknya. Kami punya solusi untuk kekayaan intelektual karena kami bisa mengatur hal-hal seperti joint venture atau legal buddy yang menentukan kerjasama antara Tumbuh Sinema Rakyat dan orang-orang dari mana film itu berasal. Pada dasarnya ini adalah sebuah program yang tidak seharusnya menghasilkan keuntungan. Jika ada keuntungan, apa yang harus kami lakukan dengan keuntungan tersebut?

Secara ideal yang kami bayangkan adalah memiliki jaringan yang terdiri dari pihak-pihak pemutar film atau exhibitionists. Contohnya special screening di Rumata Artspace, maupun sebagainya, yang dimana film-film ini akan diputar. Yang juga kami harapkan tempat-tempat ini bisa memutar film-film yang punya pendekatan yang sama dengan kita. Itu yang pertama, secara ideal. Semisalnya kami punya workshop yang permanen saat ini, maka kami juga membayangkan bahwa workshop ini bukan hanya menghasilkan film tapi juga menjadi exhibitionist. Jadi workshop ini memungkinkan para peserta untuk menggelar pemutaran yang menayangkan film mereka maupun film dari berbagai daerah. Kedua, kami juga sadar bahwa film-film ini punya kemampuan untuk berada di festival mainstream, seperti Busan contohnya, yang kemudian pada akhirnya menghasilkan exposure. Berangkat dari pengalaman dengan film Istri Orang, jika suatu film menghasilkan exposure maka ada kemungkinan film tersebut dapat dijual. Ketika itu ditawarkan atau seseorang ingin membelinya, maka film itu kemudian akan menghasilkan uang. Secara sederhananya, uang inilah yang akan kemudian dibagi antara komunitas pembuat dan Tumbuh Sinema Rakyat untuk menggulirkan program lebih lanjut. Nah, bentuknya seperti apa? Sekarang ini yang kami sedang coba, apakah workshop ini kemudian bisa menjadi semacam 'embrio' terhadap dibuatnya koperasi desa atau badan usaha milik desa. Jadi, pada dasarnya pertanyaan tentang distribusi film ini juga membawa kami pada pertanyaan-pertanyaan lain. Seperti itu yang kami bayangkan.


Afifah: Jadi pada dasarnya, jika film Istri Orang bisa dipasarkan, kru Tumbuh Sinema Rakyat akan mengembangkan proyek yang lebih luas, seperti yang disebutkan tadi, koperasi desa maupun inisiatif lainnya.


Dirmawan: Benar. Itu arah tatap kami saat ini. Karena kalau dibiayai NGO lagi nanti ujungnya tidak dapat dijual lagi. Sayang sekali sebenarnya.


Afifah: Saya tidak begitu tahu bagaimana menjelaskan kepada [Sam] tentang ide workshop permanen. 


Dirmawan: Ketika kami berbicara tentang ide workshop permanen itu artinya kami ada di sebuah wilayah bukan hanya semata-mata menghasilkan satu proyek film, tapi kamu juga mencoba untuk merambah persoalan seperti bagaimana produksi semacam itu bisa berkelanjutan. Bisa memiliki pertunjukan misalnya atau bahkan pembuatan film mereka berkait dengan dinamika ekonomi politik dan sebagainya di tempat itu. Hal-hal itu membutuhkan upaya yang lebih besar dibandingkan sekedar satu atau dua proyek. Itulah alasan kami memilih tempat-tempat yang dapat kami jangkau sebagai cara untuk membuat pilot. Seperti itulah.


Afifah: Jadi secara literal kita menerjemahkan Sinema Rakyat sebagai Folk Cinema, yang juga berarti People's Cinema atau Cinema of the People, dalam Bahasa berarti sinema milik rakyat. Menurut Bapak Dirmawan sendiri, definisi bapak mengenai Sinema Rakyat itu sebenarnya apa? Apakah itu ialah sebuah genre, ataukah bagi anda ini adalah sebuah inisiasi atau pergerakan? 


Dirmawan: Selama ini rakyat selalu disikapi sebagai penonton yang selalu berusaha dibuat kagum dengan keartisan, dengan tampilan teknologi -- yang semuanya membutuhkan model-modal besar. Akhirnya rakyat ini hanya menjadi penonton, sementara, perkembangan teknologi itu sudah memungkinkan mereka untuk menjadi produsen. Bagaimana mereka mencatat pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan mengekspresikannya lewat film ini? Jadi kalau ditanya apa Sinema Rakyat itu, ya, klise, sinema dari, untuk, dan oleh rakyat. Jadi bukan sinema dari studio besar yang memperlakukan mereka sebagai pembeli tiket, atau bagian dari jutaan hits, atau semacam itu. Tapi rakyat sendiri yang memiliki naratif ini. Nah, kalau dibilang ini pergerakan, ya bisa jadi demikian. 

Aku rasa kami juga sebenarnya mencari pihak-pihak lain yang melakukan hal yang sama dan wujud inisiatif mereka. Entah kami yang kurang bergaul atau kurang aktif, tapi kami tidak melihat orang lain melakukan hal yang sama. Kalau dokumenter sendiri ada banyak, seperti contohnya Kampung Halaman yang mencoba mempartisipasi warga. Tapi kalau menggunakan fiksi sebagai cara pendekatannya, untuk sampai saat ini kami belum menemukan namun kami ingin punya rekan yang sama.


Afifah: Apakah semua film-film di Sinema Rakyat adalah cerita yang diambil dari kisah nyata kemudian difiksikan, atau semuanya tidak seperti itu?


Dirmawan: Semua kisah-kisah yang muncul dari workshop ini adalah kisah nyata. Kadang-kadang itupun bukan hanya satu cerita utuh dari satu individu saja, terkadang kita mendapatkan kisah dari dua perspektif berbeda, si A dan dari si B. Kami bayangkan bahwa kisah itu tidak mungkin terjadi di tempat lain, seakan kisah itu terikat dengan lokasinya dan lokasi itu pasti menyimpan tradisi, adat, kebiasaan, dan juga dinamika politik ekonomi yang tersendiri. Jadi meskipun sama-sama kisah istri orang yang ditinggal suaminya pasti akan berbeda ketika dilakukan di Sumba, Kangean, ataupun Jawa, misalnya.


Afifah: Seiring dengan kolaborasi dan bekerja dengan sekian banyak komunitas, apakah proses yang dilakukan di Sinema Rakyat berpengaruh kepada bagaimana Bapak Dirmawan sendiri membuat karya? Bahkan, apakah mungkin tanggapan Bapak terhadap pembuatan film berubah seiring dengan keterlibatan di Tumbuh Sinema Rakyat?


Dirmawan: saja. Artinya begini, aku masih tetap menjadi pekerja profesional. Misalnya, aku masih dikontrak sama Multivision untuk membuat film horror, dan itu masih kukerjakan. Hanya saja, kalau aku menilik prosesku selama lima tahun belakangan, aku tau mana yang lebih baik, kira-kira seperti itu. Cuma memang PR nya banyak sekali. Tugas dan pembelajaran inilah yang membantu menjawab sejauh ini kami punya gerakan yang terbatas, karena kami tidak punya penyandang dana atau sponsor untuk saat ini.


Sam: Apakah pengalaman bekerja bersama komunitas pedesaan ataupun yang terpinggirkan merubah cara pendekatan anda terhadap pembuatan film? Ataukah pengalaman ini mempengaruhi cara anda menonton film-film Indonesia? Bagaimana hal ini mengubah pendekatan anda terhadap pembuatan film dan juga menonton film?


Dirmawan: Ini cukup mengubah tapi tidak mengagetkan saya. Setidaknya saya bisa menebak akan seperti apa saya sekarang dari beberapa tahun lalu ketika memulai proyek dan pendekatan ini. Satu saja pertanyaan yang masih membenak: ini tentang keberlanjutan. Saya percaya apa yang Tumbuh Sinema Rakyat lakukan memiliki peran penting untuk semua komunitas di seluruh Indonesia karena sangat banyak yang ingin kami sampaikan ke dunia tentang diri kita yang tidak dibatasi oleh pendekatan industrial. Saya terus percaya bahwa pendekatan ini mampu menjangkau orang-orang di saluran yang lebih besar. Ini lebih kepada tujuan-tujuan besar mampu mengenali dirinya kembali, dalam artian: cita-cita kita sudah terlanjur global tapi kenapa masih lupa dengan kampung sendiri?

Saya kerap mendengar tentang proyek yang menggunakan pendekatan dokumenter. Apa yang kalian lakukan sangatlah berorientasi dengan pendekatan dokumenter. Mungkin akan lebih menarik bagi kami jika film tersebut bisa dilakukan dengan pendekatan fiksi. Sebagai bagian Tumbuh Sinema Rakyat, saya selalu berharap akan hadirnya proyek-proyek fiksi dan memadukannya dengan pendekatan dokumenter.


Sam: Sangat menarik untuk berpikir seperti itu. Untuk melibatkan partisipan dan menjadi inklusif lebih sulit untuk diterapkan dalam proses pembuatan film dokumenter. Sedangkan pada fiksi, orang-orang dapat menyampaikan kisah-kisah mereka. Saya bahkan tidak pernah memikirkannya seperti ini tapi berbicara dengan anda membuat ide ini telintas di pikiran saya. 

Pertanyaan terakhir, jika tidak apa-apa. Sebelumnya kami sudah berdiskusi dengan beberapa orang lain terkait penggambaran kehidupan perkotaan dan pedesaan. dan bagaimana mereka saling berinteraksi dengan satu sama lain. Juga bagaimana orang Indonesia yang tinggal di perkotaan menanggapi kehidupan pedesaan di Indonesia serta penggambaran di layar kaca, jurnalistik, maupun sinema. 


Dirmawan: Jadi, aku selalu melihat bahwa ketika kita menjadi Indonesia, dengan segera kita dituntut untuk meninggalkan etnisitas kita -- kita harus cepat-cepat menjadi Indonesia. Itu satu. Kedua, di era Soekarno dimana kemudian yang namanya Indonesia itu belum selesai sebagai sebuah ‘proyek', mendefinisikan bangsa ini belum selesai. Kemudian kita memasuki era Soeharto. Ketika dia naik selama tiga puluh tahun lebih, kita sibuk yang sebelumnya dari orang desa untuk menjadi orang kota. Menurutku, tergesa-gesaan atau kecemasan kita sebagai kumpulan manusia di Indonesia untuk menjadi Indonesia dan menjadi orang kota masih tersisa sampai sekarang. Yang namanya Indonesia mungkin banyak dilupakan oleh orang karena kemudian kita lebih sibuk untuk menjadi orang kota daripada menjadi orang Indonesia. Yang diperparah ketika negara ini digerogoti dengan yang namanya 'pasar.' Menjadi orang kota itu adalah menjadi bagian dari pasar yang patuh, menjadi konsumen yang oke. Ketika kita membeli barang segala macam, status kita, kesejahteraan kita, personal kita, sebagian besarnya ditentukan oleh bagaimana kita menjadikan diri kita konsumen dari pasar ini.

Nah. Ini permasalahan itu. Karena kita berhadapan dengan ketidakseimbangan di dalam pasar; siapa yang membuat barang dan siapa yang membeli. Karena kita kebanyakan jadi pembeli maka itu jadi bermasalah karena tiba-tiba kita juga tau bahwa kita ini punya banyak barang mentah yang dijual keluar untuk dijadikan sebuah barang untuk dijual lagi balik ke tempat kita. Dalam situasi itu, maka representasi media menjadi krusial untuk dibicarakan. Karena media selalu mengatakan kepada kita untuk segera menjadi konsumen yang baik atau menjadi warga pasar dunia ini. Maka pembicaraan mengenai representasi media jadinya terletak pada bagaimana media ini seharusnya bisa juga menjadikan kita sebagai diri sendiri. 

Jadi kita kembali lagi kepada pertanyaan, siapa sih kita sebelum jadi orang Indonesia? Siapa sih kita sebelum jadi pembeli yang baik dari pasar dunia ini? Media memberikan kita kesempatan untuk berekspresi dan bersikap kritis, dan aku yakin itu akan memperkuat identitas kita.