4.6.2021
Wawancara bersama Hikmat Darmawan

Wawancara bersama Hikmat Darmawan

Hikmat Darmawan adalah seorang kritikus film, kurator seni dan anggota dari komite film Dewan Kesenian Jakarta.

Hikmat adalah wakil direktur dari Dewan Kesenian Jakarta, sebuah badan otonom budaya yang didukung dan didanai oleh provinsi Jakarta, yang berperan untuk merumuskan kebijakan untuk mendukung dan mengembangkan kegiatan budaya di Jakarta. Selain dari itu, Pak Hikmat juga merupakan seorang kritikus film dan sastra juga kurator komik. 

Pada 2007, Hikmat ikut mendirikan Rumah Film, sebuah situs kritik film yang berkontribusi dalam revitalisasi dialog perfilman nasional. Hikmat pernah menjadi anggota juri Festival Film Indonesia dan Festival Film Madani, dan juga terlibat di Frankfurt Book Fair, Brussels Europalia Indonesia dan London Book Fair sebagai representatif dari Indonesia.

Saat ini Hikmat aktif menjalankan Pabrikultur, yang bergerak di bidang pembuatan program acara kebudayaan dan penyediaan konten jurnalisme.

Berbincang bersama Pak Hikmat sangat menyenangkan, semangat dan antusiasme beliau terhadap perfilman Indonesia begitu memikat, serta pula pengetahuan & keahliannya yang sangat berharga. Hikmat Darmawan adalah salah satu pendiri dan seorang kritikus aktif di kelompok pengkritik sinema Rumah Film sejak tahun 2007 hingga 2012, yang dimana ia merupakan komponen penting dari generasi baru para sineas dan penikmat film di Indonesia. Saat ini pun tetap menjadi seorang partisipan aktif dalam sinema Indonesia dan pendukung erat bentuk-bentuk sinema baru. Kami menggali wawasan Hikmat tentang budaya sinema Indonesia untuk mendapatkan perspektif yang lebih mendalam tentang dimana posisi proyek kami berdiri di lanskap sinema Indonesia kontemporer. 

Sebagai baik seorang kritikus maupun partisipan yang terlibat di dalam wacana sinema nasional, Pak Hikmat memiliki wawasan yang unik tentang tantangan dan kekhawatiran yang dihadapi oleh budaya sinema Indonesia. Kami sangat tertarik khususnya untuk mendiskusikan bagaimana proyek kami berada di dalam ekosistem budaya sinema dan video di Indonesia, terutama pada praktik dokumenter dan representasi budaya dan komunitas masyarakat adat di layar sinema Indonesia. Pada wawancara ini, Pak Hikmat member kami gambaran singkat tentang beberapa film dan para pembuat film Indonesia favoritnya, yang kami sangat nantikan untuk kemudian kami telaah lebih dalam.

Di tengah wawancara ini Yogi Pumule turut bergabung. Yogi adalah direktur dan salah satu pendiri Sahabat Seni Nusantara, sebuah forum diskusi seni dan budaya kontemporer, bersama dengan Pak Hikmat. 

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Hikmat dan Yogi atas waktu dan wawasannya. Kami berharap dapat berbincang lagi tentang film dengan mereka di waktu mendatang.

Sam: Hai Hikmat, kami sangat senang dapat berbicara dengan anda mengenai keahlian Anda dalam dunia dan budaya perfilman Indonesia. Mungkin Anda bisa memperkenalkan diri anda terlebih dahulu?


Hikmat: Saya bekerja di Dewan Kesenian Jakarta dan dengan Pabrikultur, sebuah organisasi yang saya dirikan. Saya biasanya bekerja membuat dan/atau menyelenggarakan pameran budaya populer, khususnya komik. Saya berpengalaman dalam memamerkan komik Indonesia secara nyata, memperkenalkan komik Indonesia di Frankfurt Book Fair, Brussels Europalia Indonesia dan juga London Book Fair tahun 2019. Pabrikultur juga membuat satu program, platform, festival, Madani International Film Festival bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, dan saya menjadi bagian dari komite film mereka.

Selain itu, saya memasuki dunia perfilman sebagai seorang penulis dan kritikus pada tahun 1990-an. Saya menulis kritik film di majalah Republika dan Tempo, dan dari awal saya melihat film, film-film populer sebagai suatu catatan budaya. Sangat menarik untuk melihat film-film Indonesia dari sudut pandang tersebut. Tapi selama tahun 90-an, tidak banyak yang terjadi di film-film Indonesia. Jika Anda melihat sejarah perfilman Indonesia, Anda dapat melihat bahwa periode 1990-an adalah masa-masa terendah. Dan kemudian di awal 2000-an, fokus saya beralih dari film, tetapi saya tetap berhubungan dengan komunitas film. Ada perkembangan-perkembangan baru yang saya amati dengan seksama, tetapi tidak saya tulis sampai tahun 2006. Sekarang, dengan berkembangnya komunitas perfilman Indonesia, telah terjadi evolusi perfilman Indonesia yang sangat menarik, dalam budaya layar lebar Indonesia.

Sekarang kita memiliki banyak pilihan untuk mengedarkan karya-karya kita melalui komunitas-komunitas film dan media-media arus utama. Tentu saja, sejak pandemi, kita bisa melihat pergeseran pola waktu menonton di Indonesia menjadi lebih banyak menonton secara online atau digital, karena kebijakan isolasi dan social distancing (walaupun di Indonesia kebijakan-kebijakan tersebut belum sepenuhnya terlaksana secara sempurna). Orang-orang menemukan bahwa mereka dapat menonton begitu banyak film di gawai mereka dan begitu banyak orang telah diperkenalkan, melalui platform digital, ke film-film Indonesia, baik yang baru maupun yang lama. Di bioskop, yang ada adalah pilihan yang sangat sulit antara The Avengers dan beberapa film lokal Indonesia. Meski harus diakui pada tahun 2019, sebelum pandemi, preferensi sinema arus utama telah bergeser ke film-film Indonesia. Angka-angka yang ada bagus. Angka-angka tersebut membuat sineas lokal optimis dengan produksi film Indonesia. Film-film dokumenter mulai diputar di bioskop-bioskop besar juga, meski diakui sebagian besar terbatas pada bioskop-bioskop di Jakarta. Lebih dari 60 persen bioskop Indonesia berada di kawasan Jabodetabek.

Saya melihat film pendek yang Anda kirimkan kepada saya [bukti konsep film pendek yang dibuat sebelum proyek ini]. Saya sangat tertarik dengan pendekatan Anda. Saat ini saya benar-benar membutuhkan pendekatan observasional dan pendekatan yang lebih eksperimental untuk dokumenter. Saya pikir banyak orang, terutama generasi masa kini, menyadari bahwa pendekatan semacam ini adalah arah yang menarik bagi dunia perfilman.


Sam: Terima kasih banyak. Banyak pertanyaan kami hari ini adalah mengenai pandangan anda tentang perfilman Indonesia, serta rekomendasi dari anda, karena saya tidak tahu banyak mengenai perfilman Indonesia. Afifah telah memberi saya beberapa film untuk ditonton sebelumnya, dan begitu juga Wahyu, kolaborator kami yang lain, tetapi saya juga ingin mendapatkan beberapa rekomendasi dari anda.

 

Afifah: Saya ingin memulai dengan sedikit informasi mengenai latar belakang anda, terutama dalam kritisisme film. Apakah yang memengaruhi anda sehingga anda menjadi seorang kritikus film?


Hikmat: Saya ingin menunjukkan buku ini pada kalian [Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012], masih disimpan di gedung Dewan Kesenian Jakarta. Ini sangat tebal. Ini adalah salah satu dari enam buku dalam seri buku Wacana Sinema dari Dewan Kesenian Jakarta. Buku ini terutama memiliki makna pribadi bagi saya karena ini adalah antologi artikel, esai, dan kritikus film dari Rumah Film. Sekarang situs webnya sudah mati, tetapi ia aktif dari 2007 hingga 2012.

Semua berawal dari enam sahabat yang memiliki kecintaan yang sama terhadap film dan film-film Indonesia. Kami memulai proyek ini sebagai satu platform untuk kritik film yang serius. Mereka adalah Eric Sasono, Ekky Imanjaya, Krisnadi Yuliawan, Hikmat Darmawan yaitu saya sendiri, Asmayani Kusrini, jurnalis yang sudah lama tinggal di Brussels dan menjadi koresponden kami untuk sinema internasional di Eropa. Kemudian kami menambahkan Ifan Ismail, yang kini menjadi salah satu penulis skenario terlaris di Indonesia. Sebagai contoh ia menulis naskah film Habibie & Ainun, salah satu film box office tersukses di Indonesia. Dia sejak dulu sampai sekarang adalah seorang kritikus film yang sangat baik, karena pendekatannya yang lucu terhadap film dan penulisan naskah film.

Selama periode tersebut kami membuat begitu banyak tulisan tentang film, film-film global, dan kami juga mengembangkan semacam mekanisme dan pendekatan khas terhadap kritik film yang membuat kami bersemangat. Kami membuat proyek ini pada awalnya karena kami tidak puas dengan praktik kritisisme film yang ada di Indonesia, terutama di media arus utama dan nasional yang dihormati, seperti Kompas. Menurut kami semua kritik film di majalah Kompas dan Tempo saat itu benar-benar omong kosong.

 

Rumah Film mengembangkan semacam mekanisme dan pendekatan khas terhadap kritik film yang membuat kami bersemangat. Kami membuat proyek ini pada awalnya karena kami tidak puas dengan praktik kritisisme film yang ada di Indonesia.

Sam: Bisakah Anda menjelaskan apa yang anda maksud dengan kritik omong kosong?


Hikmat: Sebagai contoh awal, ada begitu banyak kesalahan data. Misalnya, mereka menulis tentang Bourne Identity sebagai sebuah film fiksi ilmiah, padahal itu tidaklah akurat! Perusahaan media terbesar di Indonesia bahkan masih salah mengenai informasi dasar seperti itu. Contoh lain, mereka menulis tentang film Disturbia, yang didasarkan pada premis Rear Window, mereka mengatakan bahwa film tersebut didasarkan pada sebuah novel! Dan tentu saja, perspektif mereka dan cara mereka menulis kritik-kritik mereka seperti panduan film, hanya memberi pembaca informasi tentang bagaimana menghabiskan uang mereka dan jenis film apa yang ada, semata-mata berdasarkan perasaan suka atau tidak suka pribadi para kritikus tersebut. Jadi itu tidak benar-benar kritik, tidak benar-benar mengembangkan pendekatan berpikir kritis terhadap film. Hal yang sama terjadi di Majalah Tempo dan semua media, tabloid, dan situs web lainnya pada waktu itu.

Saya pikir pembaca Indonesia tidak benar-benar memiliki pengetahuan yang tepat untuk melakukan pendekatan secara kritis terhadap film. Tentu saja, kami dapat berpikir seperti itu karena kami masih muda saat itu. Karena kecintaan kami pada perfilman, kami akan bersemangat bukan hanya jika kami menemukan film yang bagus, tetapi film yang bisa kami bahas. Film tersebut bisa merupakan film yang buruk, film sampah, tetapi jika kami menemukan sesuatu untuk dibahas, kami akan menulisnya dengan penuh semangat. Ini juga masalah ruang. Ketika kami memiliki platform sendiri tanpa modal sama sekali di awal, kami akan menulis selama dan sebanyak yang kami bisa. Jadi ada begitu banyak ulasan panjang. Tapi, kami juga mengembangkan - sebatas untuk bersenang-senang - sebuah review film haiku. Kami banyak bereksperimen dalam penulisan kami tentang film, dan kami membuat daftar 100 film terbaik di dunia perfilman dari tahun 2000 hingga 2009, dan juga 33 film Indonesia terbaik dalam dekade pertama tahun 2000-an.

Jadi itulah hal yang kami ciptakan, dan cukup menakjubkan bagi kami, hal-hal yang kami lakukan untuk bersenang-senang menciptakan percakapan yang lebih luas tentang film. Jadi kami merasa setelah sekian lama vakum, dengan Rumah Film, kami masing-masing mengembangkan gaya kritisisme dan aktivisme film kami sendiri. Beberapa tahun setelah berakhir, kami melihat kembali ke belakang dan memutuskan untuk mengumpulkan semua tulisan tersebut menjadi satu buku, hampir 1700 halaman.


Sam: Menurut Anda, apakah Rumah Film memiliki pengaruh terhadap generasi kritikus film atau wacana sinema di Indonesia saat ini?

 

Hikmat: Ya, menurut banyak kesaksian dari para kritikus muda, seperti Adrian Jonathan dari Cinema Poetica. Dia mengatakan bahwa Rumah Film benar memiliki pengaruh pada dirinya. Sutradara seperti Joko Anwar dan banyak pegiat perfilman juga mengatakan bahwa Rumah Film memiliki pengaruh besar terhadap wacana perfilman di Indonesia.

Selain Rumah Film, ada beberapa kritikus film lain yang juga berpengaruh dalam diskursus perfilman Indonesia kontemporer. Namun Rumah Film memiliki tempat khusus di dalamnya. Selanjutnya, masing-masing anggota Rumah Film juga mengembangkan perjalanan pribadinya dalam kritik film Indonesia. Misalnya, Eric Sasono dan Ekky Imanjaya sama-sama menjadi akademisi yang belajar film di Inggris. Keduanya memiliki gelar PhD dalam studi perfilman.

Eric Sasono mengembangkan pendekatan yang lebih filosofis terhadap film. Contohnya, penelitian PhD-nya berfokus pada sifat publik film, film sebagai bagian dari penciptaan ruang publik, dikaitkan dengan aktivisme film Dandhy Laksono. Subjek Laksono tidak hanya terbatas pada film, tetapi segala jenis proyek. Kegiatan pemutaran dan menonton film dokumenter itu sendiri menjadi objek kajian Eric.

Ekky mengembangkan fokus mempelajari film-film kelas B Indonesia sebagai suatu pergerakan estetis. Saat ini, ia memiliki proyek penelitian tentang film-film eksploitasi “Pocong”, sebuah subgenre film horor di Indonesia. “Pocong” adalah kain, dalam cara kaum Muslim Indonesia menangani mayat, dimana mayat dibungkus dengan kain putih. Jadi itu menjadi sub genre horor yang cukup populer, terutama sejak pertengahan 2000-an. Kalau tidak salah, Ekky menemukan kata “Pocong” tersemat di sekitar 300 judul film di Indonesia, cukup banyak! Ia juga mengembangkan kajian tentang para maestro film dari sejarah di masa lampau seperti Usmar Ismail. Kumpulan esainya tentang Usmar Ismail sudah diterbitkan, bahkan ada yang berbahasa Inggris, berjudul Mujahid Film: Usmar Ismail. Kata “mujahid” memiliki semacam konotasi terorisme atau seperti itu. Namun Ekky adalah Sarjana Sastra Arab dan Studi Bahasa Arab di Universitas Indonesia. Jadi, ia menggunakan kata “mujahid” dalam arti yang berbeda, dan menerapkannya pada aktivitas Usmar Ismail dan kontribusinya dalam sejarah perfilman.

Saya sendiri, saya sekarang sibuk dengan ekosistem film Indonesia, tapi saya masih menulis dan sedang berusaha untuk menyelesaikan buku tentang film-film karya Garin Nugroho. Saya berfokus pada pemikiran kritis dalam membaca film-filmnya, film-filmnya sebagai suatu catatan budaya.


Sam: Sangat sulit bagi kami untuk menonton film-film ini di Australia kecuali di festival film, tetapi sayangnya mereka tidak tersedia, tidak tersedia di sangat banyak tempat!

Hikmat: Jika Anda mau, saya dapat membagikan beberapa file video yang aksesnya saya miliki untuk studi saya kepada kalian.

 

Garin Nugroho states that his movies are rooted in a visual aesthetic, focussing on the movement of the camera, the composition, the colour, more than previous generations of filmmakers in Indonesia. This was a totally new thing for Indonesian cinema in the 90s.

Sam: Saya ingin menyaksikan lebih banyak lagi, saya hanya pernah menyaksikan Opera Jawa, yang benar-benar membuat saya terpesona!


Hikmat: Pernahkah anda menonton film Rafi Bharwani, seperti The Rainmaker? Saya pikir dia adalah bagian dari generasi baru perfilman Indonesia yang menarik. Dia juga membuat film-film pendek.

Jadi, begitulah pendeknya latar belakang pekerjaan saya sekarang. Saat ini saya tidak punya rutinitas menulis atau kolom reguler untuk kritik film. Tapi saya telah menetapkan ke diri sendiri sendiri tugas menulis buku.

Eris juga kini sedang menulis buku tentang film-film Islami Indonesia.

 

Sam: Proyek kami berkaitan dengan komunitas yang sangat kecil, komunitas Toraja. Bagi para pembuat film Australia, dan orang-orang Australia pada umumnya, penting bagi kita untuk berhadapan dengan sejarah kolonial kita, dan untuk mengakui dan memberdayakan sebanyak mungkin masyarakat dan otoritas Pribumi setempat. Saya ingin tahu apakah Anda punya pemikiran atau gagasan mengenai representasi pribumi atau “adat” dalam perfilman Indonesia.


Hikmat: Teman saya Yogi Sumule akan bergabung sekarang. Dia adalah seorang pembuat film dokumenter.

Dalam hal representasi masyarakat atau budaya Pribumi dalam perfilman Indonesia, saya kira harus dikaitkan dengan film-film Garin Nugroho.

Ini adalah Yogi. Yogi menghabiskan bertahun-tahun di Australia, saya pikir di Sydney.

 

Yogi: Halo! Ya, saya pernah tinggal di Sydney, selama sekitar lima tahun.

 

Hikmat: Jadi, Yogi adalah seorang pembuat film dan editor. Bersama-sama kami adalah bagian dari kolektif Sahabat Seni Nusantara.

 

Sam: Apakah kegiatan kolektif tersebut?


Hikmat: Benar-benar tak teratur! Kami belum memiliki struktur, tetapi kami memiliki kegiatan yang dimulai tepat sebelum pandemi Februari lalu. Idenya adalah untuk membuat pandangan mengenai kebudayaan Indonesia untuk tahun yang akan datang. Kami akan mengikuti kegiatan rutin untuk menyusun pengetahuan kami tentang perkembangan budaya di Indonesia. Ini tugas besar, tapi saya pikir ini seperti Rumah Film, untuk bersenang-senang. Kami menangani ide-ide besar dengan sikap yang menyenangkan.

Kami bersenang-senang melakukannya selama pandemi, kami harus berfokus pada platform digital dan kami membuat begitu banyak diskusi, yang dipublikasikan di saluran YouTube kami. Karena pendekatan kegiatan kami yang tidak teratur, kami tidak memberikan subjudul pada diskusi-diskusi tersebut. Terkadang, kami baru saja bangun dan seseorang akan berkata “mengapa kita tidak melakukan zoom bersama dan membicarakan sesuatu dan mempublikasikannya di YouTube?” Tapi kami juga memiliki banyak diskusi terstruktur tentang isu-isu yang dihadapi panggung-panggung kebudayaan Indonesia kontemporer. Beberapa kegiatan kami mengusulkan untuk menciptakan satu pusat budaya untuk membangun koneksi dan jaringan. Harapannya kami bisa menindaklanjutinya dengan kegiatan-kegiatan secara fisik kelak.

Garin mengatakan bahwa film-filmnya berdasarkan pada estetika visual, yang berfokus pada dialog, tema, akting, dan bagaimana kamera melayani tujuan tersebut, lebih dari generasi-generasi sineas sebelumnya di Indonesia. Ini merupakan hal yang baru bagi sinema Indonesia pada tahun 90an.

Sam: Apakah sebagian besar diskusi dan kegiatan-kegiatan tersebut berkaitan dengan film dan dunia perfilman?


Hikmat: Tidak, tidak sama sekali! Kami adalah satu kelompok yang tidak terorganisir, jadi kami membahas apa saja. Sastra, puisi, seni untuk anak-anak, kami sudah membicarakan semua hal-hal tersebut. Kami pernah membahas pembukaan pameran teman kami di Jerman, yang sangat menarik. Kami juga berbicara tentang bagaimana kami mendanai kegiatan kreatif selama pandemi. Kami membahas jaringan artis wanita. Kusarankan kalian untuk memeriksa saluran YouTube kami.

Mungkin kalian bisa memperkenalkan karya kalian kepada Yogi, dia berasal dari Toraja.

 

Yogi: Orang tua saya asli dari Toraja, tapi saya lahir dan besar di Jakarta.

 

Sam: Dari Toraja bagian mana mereka? Apakah Anda terkadang kembali ke sana?

 

Yogi: Mereka dari Rantepao. Terakhir kali saya pergi adalah untuk pemakaman ibu saya, sekitar empat tahun yang lalu.


Sam: Jadi untuk memberikan anda sedikit konteks, Yogi, Afifah dan saya telah bekerja bersama selama beberapa tahun. Kami telah memproduksi sebuah film dokumenter tentang Toraja dan inkarnasi terbaru dari proyek dokumenter ini adalah sebuah karya instalasi. Instalasi tersebut dibangun dari arsip digital sebuah perusahaan videografi di Toraja, DSTV, yang memfilmkan dan menyiarkan upacara lokal, pemakaman, pernikahan, beberapa ritual langka, tetapi juga pertemuan sosial besar. Mereka rekaman-rekaman yang sifatnya intim, tetapi juga publik dan sosial.

Salah satu elemen kerja kami bersama adalah Afifah dan saya melakukan penelitian bersama yang menginformasikan praktik kreatif kolektif kami. Semoga ini menjadi awal dari kemitraan yang panjang antara komunitas film Melbourne dan Makassar.

 

Hikmat: Yogi, ketika kamu masuk ke Zoom, kita berbicara tentang representasi masyarakat adat dalam perfilman Indonesia.

Harus kukatakan bahwa karya Garin adalah salah satu sumber utama untuk memahami representasi masyarakat adat. Sebut saja Surat Untuk Bidadari, film feature keduanya. Dari apa yang saya baca, film ini tidak diputar di bioskop Indonesia, tetapi mendapat status cult di kalangan penonton film muda Indonesia tertentu yang menganggapnya sebagai salah satu film Indonesia terbaik sepanjang masa. Lokasinya di Lombok. Ini adalah film fiksi, tetapi sebagai pembuat film dokumenter Garin juga memasukkan cukup banyak gambar upacara kematian betulan di Lombok. Ini merupakan hal baru bagi perfilman Indonesia saat itu. Dalam film ini, kita bisa menemukan hal menarik tentang budaya lokal pada saat itu.

Garin mengatakan bahwa setelah kesuksesan film pertamanya, Cinta Dalam Sepotong Roti, gaya penyutradaraannya menjadi berdasarkan pada estetika visual, yang merupakan sebuah terobosan revolusioner dalam perfilman Indonesia saat itu. Sinema Indonesia berakar pada dunia teater, sehingga estetika lebih banyak difokuskan pada dialog, tema, akting, dan bagaimana kamera melayani tujuan tersebut, untuk mencapai bentuk teater dalam film. Dalam Cinta Dalam Sepotong Roti, dan di banyak film Garin lainnya, penonton dan kritikus Indonesia selalu bingung dengan ceritanya. Bahkan salah satu penyair terkemuka kita, Goenawan Mohamad, beberapa kali mengatakan kepada saya atau di media, bahwa Garin Nugroho tidak memiliki kemampuan untuk bercerita, bahwa dia bukan pencerita yang baik. Pendekatan kebanyakan penonton terhadap film Garin saat itu di Indonesia berakar pada pendekatan teatrikal dan cerita. Dan bahkan bukan teater kontemporer, melainkan teater klasik dan tradisional dari awal abad ke-20, teater yang kami sebut Stamboel, teater populer (di masa itu). Dalam tradisi Stamboel, kita bisa melihat drama klasik dari Eropa yang diadaptasi menjadi teater populer lokal. Garin dengan tegas menyatakan bahwa film-filmnya berakar pada estetika visual, berfokus pada pergerakan kamera, komposisi, warna, lebih dari generasi sineas sebelumnya di Indonesia. Ini adalah hal yang benar-benar baru bagi perfilman Indonesia pada saat itu, dan karena itu Garin perlahan-lahan menjadi terkenal.

Kemudian muncul film keduanya, Surat Untuk Bidadari, dan dia mulai berfokus pada permasalahan masyarakat dan etnis tradisional yang berhadapan dengan modernisasi di Indonesia. Jadi, melakukan pendekatan terhadap modernisasi Indonesia dari sudut pandang masyarakat desa setempat. Kita bisa melihat di seluruh karyanya banyak pengenalan isu-isu lokal. Misalnya, ia yang pertama kali memperkenalkan topik genosida di Aceh pada tahun 1965 dengan filmnya Puisi Tak Terkuburkan di tahun 2000. Film ini juga menarik dalam pencapaiannya sebagai film digital pertama di Indonesia. Ini sangatlah sulit pada saat itu, karena teknologinya tidak seperti sekarang. Film ini juga memperkenalkan puisi tradisional Aceh sebagai bentuk pendokumentasian genosida dan ketahanan masyarakat Aceh saat itu. Film ini juga merupakan film naratif pertama dalam perfilman Indonesia mengenai genosida 1965 dari sudut pandang korban. Narasi korban atas genosida 1965.

Bahkan sebelum itu, ia mengeksplorasi representasi dengan sudut pandang yang berbeda dari generasi sebelumnya yang selalu melihat kebudayaan lokal, kebudayaan adat dari sudut pandang Jakarta, dari sudut pandang negara. Dalam film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, untuk pertama kalinya bagi banyak penonton Indonesia kita diperkenalkan dengan permasalahan di Papua. Tokoh utamanya adalah seorang aktivis Papua untuk kemerdekaan Papua. Anda dapat melihat bagaimana hal itu masih relevan hingga saat ini di Indonesia. Selama pembuatan filmnya, karena karya-karya fiksinya biasanya merupakan pesanan, Garin merekam begitu banyak gambar dan terkadang mengembangkannya tanpa persetujuan dari produser untuk mengedit gambarnya sendiri dalam film dokumenter tentang subjek karya fiksinya. Jadi, misalnya, untuk Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, ia juga membuat film dokumenter pendek tentang pertemuan para aktivis kemerdekaan Papua.

Sebelumnya, Garin adalah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Salah satu gurunya adalah Sardono Waluyo Kusumo. Pada tahun 1980-an Sardono membawa murid-muridnya ke banyak pelosok Indonesia, ke Lombok, ke Bali, ke Kalimantan untuk merekam dengan kamera 16mm. Pada tahun 2017, beberapa cuplikan rekaman tersebut, yang disusun sebagai film eksperimental, diputar di Brussel. Saya sebenarnya belum menontonnya. Saya akan menghubungi Sardono dan mungkin kita bisa menontonnya bersama nanti. Namun itu merupakan langkah yang cukup penting menuju meningkatnya representasi masyarakat adat di perfilman Indonesia secara luas. Dari tahun 2000-2008, kita bisa melihat benih-benih representasi kebudayaan lokal atau adat dalam perfilman mainstream. Sekarang kita melihat film-film komedi sukses yang menggunakan bahasa lokal, seperti Bahasa Ngapak.

Yogi: Bahasa Indonesia memiliki tingkatan yang berbeda-beda, dan ini mungkin tingkatan yang paling rendah.


Puisi Tak Terkuburkan memperkenalkan puisi tradisional Aceh sebagai bentuk pendokumentasian genosida dan ketahanan masyarakat Aceh saat itu. Film ini juga merupakan film naratif pertama dalam perfilman Indonesia mengenai genosida 1965 dari sudut pandang korban. 

Hikmat: Sudah menjadi film mainstream dan cukup sukses. Yowis Ben adalah contoh yang baik. Film tersebut sudah memiliki sejumlah sekuel dan serial yang sedang dikembangkan juga. Awalnya, penyambutannya cukup menarik. Di Twitter misalnya, banyak yang mengejeknya sebagai film Kombantu, untuk kalangan bawah, dan banyak yang mencemoohnya. Reaksi negatif itu menimbulkan reaksi balasan, dan orang-orang benar-benar pergi menonton film itu untuk menyatakan “Tidak, film ini bagus!” Padahal mereka tidak mengerti bahasanya dan harus menonton dengan subjudul Bahasa Indonesia.

Saya kira sekarang perkembangan paling menarik dalam representasi budaya adat, mungkin masih dalam film pendek dan bioskop independen. Ada masalah baru yang muncul. Pada masa Orde Baru yang berakhir pada tahun 1998, penggunaan bahasa Jawa, yang dianggap sebagai budaya paling mendominasi di Indonesia pun masih sangat langka, masih dianggap sangat eksotis. Penggunaan bahasa Jawa itu sendiri sudah dianggap sebagai satu prestasi tersendiri. Sekarang, kita bisa melihat penggunaan bahasa Aceh, bahasa yang sangat lokal, terwakili dalam film-film, kadang-kadang bahkan di film-film mainstream, bersaing dengan film-film Jawa. Sementara di pulau Jawa sendiri, banyak sekali bahasa daerah yang justru tertindas oleh budaya dominan Jawa. Ini adalah perkembangan yang menarik sekarang.


Sam: Bagaimana menurut anda, Yogi? Di Australia, kami memiliki sejarah kolonial tertentu dan kami harus sangat sadar akan komunitas Pribumi dan tanah tempat kami berkreasi, bekerja, dan tinggal, yang tentu saja berdampak pada sejarah budaya dan sinema Australia. Ada hubungan yang berkembang dan representasi kebudayaan Pribumi yang menurut saya mencerminkan perubahan sikap di Australia terhadap komunitas Bangsa Pertama di sini. Jadi, mengingat Anda menghabiskan beberapa waktu di Australia dan Anda mungkin telah menjadi saksi dari beberapa percakapan atau pemikiran ini, saya bertanya-tanya apakah Anda memiliki sesuatu untuk ditambahkan ke dalamnya.

 

Yogi: Selama disana saya nongkrong, saya pergi ke NIDA dan saya bergabung dengan Aboriginal Tent Embassy. Koreksi saya jika saya salah, tetapi ketika saya berada di Sydney, saya hampir tidak bertemu orang Aborigin sama sekali. Di Sydney, orang Aborigin dilokalisasi di daerah Redfern. Tapi saya tidak tahu, maksud saya, saya belum pernah ke sana selama 15 tahun terakhir, jadi saya hampir tidak bisa berkomentar.


Sam: Saya lebih bertanya apakah anda ingin berkomentar mengenai perflilman Indonesia dan konsepsi kepribumian Indonesia, dibandingkan dengan konsepsi kepribumian Australia. Saya bertanya-tanya bagaimana hal itu tercermin dalam budaya perfilman Indonesia?

 

Hikmat: Yogi sendiri mungkin adalah contoh dari kerumitan ini. Apakah kamu menganggap dirimu sebagai orang Toraja atau orang Jakarta?

 

Yogi: Kita berbicara tentang identitas, bagaimana anda mengidentifikasi diri anda. Di Australia. anda mengidentifikasi diri Anda dari tempat asal anda di masa lampau, seperti asal usul negara tempat Anda berasal. Tapi di Indonesia, apalagi jika Anda lahir dan besar di Jakarta, seperti saya dan Hikmat, kami jarang membicarakan hal itu. Kalian bahkan dapat mengatakan bahwa kami kehilangan akar kami. Seperti, Afifah, apakah anda lahir dan besar di Makassar?

Dari tahun 2000-2008, kita bisa melihat benih-benih representasi kebudayaan lokal atau adat dalam perfilman mainstream. Sekarang kita melihat film-film komedi sukses yang menggunakan bahasa lokal, seperti Bahasa Ngapak.

 

Afifah: Ya, saya lahir di Makassar, tapi orang tua saya dari banyak tempat, mereka dari Sinjai, dari Sidrap, mereka dari banyak tempat tapi saya sendiri tidak merasa mengidentifikasi diri saya sendiri dengan tempat-tempat tersebut. Saya mengidentifikasi diri saya sebagai orang Makassar.


Yogi: Berbicara tentang kompleksitas masyarakat adat Indonesia, sebenarnya saya sedang menulis sebuah naskah tentang hal itu. Ini tentang seorang pria yang asal usulnya dari Karo di Sumatera Utara, tetapi lahir dan besar di Bandung di Jawa Barat. Jadi orang selalu memanggilnya “Batak”, yang merupakan suku paling terkenal di Sumatera Utara. Jadi rumitnya adalah: dia lahir dan besar di Bandung, dia berbicara dan berperilaku seperti orang Sunda, dia bahkan berpikir dalam bahasa Sunda, tetapi orang Sunda memanggilnya "Batak". Meskipun Batak dan Karo hidup berdampingan satu sama lain, secara historis mereka agak tidak menyukai satu sama lain. Ini seperti orang-orang di Makassar dan Toraja. Seperti 50 atau 60 tahun yang lalu, jika orang tua saya berasal dari Toraja, dan nongkrong di Makassar, mereka akan disebut “orang suku”, atau “orang gunung” dan “tidak berbudaya”, loh. Orang Jakarta, seperti saya, tidak memikirkan itu, mungkin Afifah juga. Cara saya melihatnya seperti anda, Sam, jika Anda datang ke Jakarta dan yang Anda lakukan adalah mencoba mengingat setiap nama, setiap nama jalan, setiap bangunan. Tapi bagi kami, kami tidak melihat nama, kami melihat kenangan dan kejadian, seperti kami tahu tempat ini bagus karena ada restoran bagus misalnya.

 

Hikmat: Barangkali ada kaitannya dengan makanan!


Yogi: Makanan adalah pengidentifikasi yang kuat!

Suatu ketika, ketika saya mengikuti demonstrasi di Sydney, demonstrasi mendukung kemerdekaan Timor Timur (sekarang Timor Leste), saya di sana mendukung rakyat Timor Timur dan saya bersama dengan seorang gadis Timor Timur. Kami sedang nongkrong biasa dan ada seorang pria lokal yang mendatangi kami dan bertanya dari mana kami berasal. Saya bilang saya dari Indonesia, dan dia bilang dari Timor Leste. Segera setelah kami memberi tahu dia asal kami, tiba-tiba dia mengabaikan saya dan mulai berbicara dengannya dan bertanya mengapa dia mau bergaul dengan saya. Karena Indonesia adalah penjajah, penindas. Jadi saya katakan padanya, dan saya bahkan mengutip Bob Dylan saat itu, "jangan mengkritik apa yang tidak Anda mengerti". Saya dan dia, kami ada di sana untuk satu tujuan, menuntut pemerintah Indonesia membebaskan Timor Timur. Lucunya, saya belum pernah ke Timor Timur, tapi itu kesalahan pemerintah saya. Jadi saya bertanya kepadanya “Di mana Anda, Bung? Anda berada di Australia, dimana orang-orang anda melakukan genosida terhadap orang-orang Aborigin dan bahkan telah memusnahkan seluruh populasi Aborigin di Tasmania. Dan kau menyuruhnya untuk tidak bergaul denganku?” Orang Indonesia bukan Pemerintah Indonesia. Mereka adalah dua hal yang berbeda.

 

Hikmat: Kebijakan pemerintah Indonesia selama bertahun-tahun sejak era Sukarno, era Suharto hingga Jokowi, menghadapi kompleksitas representasi masyarakat adat, bahkan kesulitan mendefinisikan kepribumian di Indonesia.

Saya hampir lupa menyebutkan salah satu perkembangan paling menarik dalam representasi kepribumian dalam perfilman Indonesia hingga saat ini. Sutradara Dirmawan Hatta pada tahun 2018 mengembangkan pendekatan baru dalam pembuatan film. Ia menyebutnya “Sinema Rakyat”. Metodenya adalah - dan dia masih melanjutkannya sampai sekarang - sebagai seorang sutradara dia memfasilitasi masyarakat setempat. Ia memilih lima daerah terpencil di Indonesia untuk mengembangkan sebuah proyek bersama-sama dan membuat film layar lebar berdasarkan kisah hidup para peserta. Jadi naskahnya sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai sebuah naskah.

Mereka telah memproduksi, membuat, dan menerbitkan lima film. Saya telah menonton tiga di antaranya. Satu di Jawa, satu di Palu dan satu ... saya lupa nama tempatnya. Salah satu film mereka adalah Istri Orang. Saya menjadi juri Festival Film Tempo, dan menurut saya itu salah satu film terbaik di tahun 2019. Setelah melakukan riset awal, Dirmawan akan tiba di suatu tempat, dia akan mengumpulkan penduduk setempat dan mendengarkan cerita-cerita mereka. Misalnya Istri Orang, film tersebut adalah tentang sebuah pulau yang banyak penduduknya merantau ke luar negeri sebagai buruh migran. Ya. Begitu banyak perempuan di pulau itu dibiarkan tanpa kejelasan statusnya. Mereka menikah, tetapi mereka tidak benar-benar memiliki situasi pernikahan. Itulah maksud judulnya, “Istri Orang” atau dalam bahasa Inggris “another's wife”. Ini tentang gender dan bagaimana cinta dapat berkembang, romansa, hubungan, kebutuhan akan persahabatan dan juga sisi ekonomi. Ini adalah masalah lokal yang penting. Film ini didasarkan pada cerita para peserta, naskahnya didiskusikan dan dieksplorasi, kemudian diformat dalam Microsoft Excel. Jadi disini dia sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai sutradara. Peran yang dia berikan ke dirinya sendiri adalah sebagai fasilitator, dia adalah fasilitator cerita-cerita lokal. Saya sangat suka film-film ini.

Di Festival Film Indonesia 2020, film itu tidak terlalu mendapatkan apresiasi yang saya harap ia dapatkan. FFI adalah acara industri. Jadi mereka mengembangkan suatu standar tertentu, dan teknik itu penting, jadi bagi mereka, film tersebut adalah film yang buruk karena tidak memenuhi standar teknis mereka untuk industri perfilman Indonesia. Tentu saja, saya akan berdebat dengan anggapan tersebut, tetapi saya pikir itu tidak ada gunanya. Saya pikir ini adalah jenis film yang berbeda, tapi saya juga pikir ini salah satu yang terbaik. Saya bahkan memasukkannya ke dalam daftar 250 film Indonesia terbaik sepanjang masa!


Sam: Proses pembuatan film seperti itulah yang ingin kami pelajari juga. Representasi adalah hal yang sangat baik dan bagus, tetapi jika tidak ada representasi sejak awal, dan redistribusi posisi kekuasaan dalam penceritaan, maka itu dangkal.

 

Hikmat: Sebagai satu catatan kaki, Dirmawan Hatta adalah murid Garin Nugroho.

 

Sam: Terima kasih banyak atas waktu Anda, dan kami berharap dapat berbincang-bincang dengan Anda lagi segera!