4.5.2021
Wawancara bersama Annisa Beta

Wawancara bersama Annisa Beta

Dr. Annisa R. Beta adalah seorang Dosen Kajian Budaya di School of Culture and Communication, University of Melbourne

Penelitian Annisa secara luas mencakup persoalan kaum muda, media baru, dan subjektivitas politik di Asia Tenggara. Sebelum melakukan studinya di Melbourne, Annisa adalah seorang Postdoctoral Fellow di Department of Communications and New Media sejak 2018 hingga 2019 di National University of Singapore, dimana ia juga mendapatkan gelar Ph.D. nya pada tahun 2018. Annisa juga pernah menjadi Visiting Student Researcher di University of California Berkeley pada tahun 2016. Selama karir akademisnya, Annisa telah menerbitkan karya-karya di Inter-Asia Cultural Studies, New Media & Society, International Communication Gazette, Media and Communication, Asiascape: Digital Asia and Feminist Media Studies. Ia juga telah mempublikasikan karya-karya tulisnya dengan South China Morning Post, The Jakarta Post dan The Conversation.


DSTV pada dasarnya adalah sebuah perusahaan media yang meliput dan menyiarkan kehidupan dan seremonial masyarakat Toraja. Dengan lebih dari 300,000 pengikut pada kanal YouTube mereka dan jumlah penonton yang signifikan di seluruh kecamatan Sangalla. Video-video DSTV menjangkau banyak orang dan berada dalam ekosistem media yang besar dan kompleks di Sulawesi Selatan dan Indonesia.

Percakapan kami bersama Annisa meliputi topik pasca kolonialisme di Indonesia, literasi media, dan peranan Cultural Studies dalam berpikir kritis tentang adat istiadat dan kehidupan sosial. Perspektif Annisa sangat membantu kami mengkontekstualisasikan karya-karya DSTV di lanskap media kontemporer di Indonesia dan Internasional, juga membantu kami mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana generasi muda di Indonesia mengkonsumsi dan berinteraksi dengan masyarakat melalui media. DSTV berdiri sebagai suatu platform media untuk masyarat Toraja, dari masyarakat Toraja, dan berkontribusi dalam mendesentralisasikan apa yang sering kali menjadi suara media yang seragam, berbasis di Jawa, ataupun urbansentris.

Nampaknya ada keterputusan antara komunitas perkotaan dan pedesaan di Indonesia yang dapat dibilang mencerminkan suatu tren yang lebih besar di seluruh dunia. Sselama bekerja bersama DSTV dan bekerja secara kolektif, penting bagi kami untuk mengakui kondisi material tempat kita masing-masing hidup, bekerja dan berkarya, dan melihat bagaimana kondisi-kondisi ini berdampak pada cara kami berpikir, belajar dan bekerja. Pemikiran tersebut pada akhirnya memengaruhi bagaimana kami memandang arsip DSTV dan mempertimbangkan siapa target penonton utama video-video tersebut.

Kami ingin menyapaikan terima kasih kami kepada Annisa atas waktu dan dorongannya.

Sam: Salah satu bagian dari ide pertukaran pikiran ini adalah mengeksplorasi perbedaan-perbedaan yang kita miliki, sejarah kolonial kita yang berbeda dan berbagai pandangan mengenai pasca-kolonialisme dan dekolonisasi di kedua negara. Menurut pengalaman Anda, sebagai seseorang yang pernah belajar dan bekerja di Indonesia dan di Australia, adakah perbedaan yang dapat Anda komentari atau dapatkah anda memberikan penjelasan secara rinci mengenai sejarah kolonialisme dan dekolonisasi Indonesia?

 

Annisa: Bagaimana makna dekolonisasi di Indonesia dengan di Australia merupakan hal yang sangatlah berbeda. Di negara pasca-kolonial seperti Indonesia, dekolonisasi berarti usaha bagi bangsa-bangsa Asia yang kini merdeka untuk terus membuat dirinya merdeka. Jadi kemerdekaan untuk berpikir, kemerdekaan dalam memperbaiki, “memperbaiki” menurut saya adalah kata yang paling mudah diserap oleh kebanyakan orang. Pada tingkat budaya, kami berusaha untuk berhenti memandang diri kami sendiri sebagai lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang dari masyarakat Barat. Perasaan inferioritas seperti itu masih cukup kuat di Indonesia, bahkan di antara orang-orang yang memiliki pendidikan tertinggi. Perasaan superiorisme Barat tersebut masih sangat ada dan signifikan di Indonesia, meskipun Indonesia merupakan bangsa pasca-kolonial, namun menjadi bangsa pasca-kolonial bukan berarti Indonesia sebagai suatu masyarakat secara umum telah sepenuhnya sukses melaksanakan dekolonisasi. Ini sangatlah berbeda, menurut saya, dengan Australia, di mana masyarakat adat masih tidak memiliki hak atas tanah mereka sendiri, masih tidak memiliki hak untuk hidup, sungguh. Dan saya sering memikirkan hal ini, setiap kali saya melakukan pengakuan atas negara saya di sini, karena saya penasaran apa yang akan terjadi pada saya seandainya saya menjadi anggota komunitas adat di sini, saya tidak akan memiliki arah atau kehidupan yang sama sama sekali. Saya mungkin bahkan takkan pernah hidup jika Indonesia belum merdeka. Jadi, tugas-tugas dekolonisasi dan realitas pascakolonial kedua negara benar-benar berbeda. Tapi saya pikir ada kesamaan di antara kedua masyarakat, khususnya pada tingkat budaya. Adalah suatu fakta bahwa orang Barat, kebudayaan kulit putih Anglo, masih dianggap lebih unggul daripada kebudayaan asli, lebih unggul daripada tradisi atau kebudayaan masyarakat pribumi yang lebih kritis secara politik.

 

Sam: Kami baru-baru ini telah banyak berbicara dengan perwakilan dari AMAN. Saya telah banyak belajar mengenai konsepsi kepribumian Indonesia sebagai perbandingan dengan konsepsi kepribumian Australia, yang bagi saya, sebagai seseorang yang tumbuh di Australia, dari luar tampak seperti sesuatu yang dapat didefinisikan secara sederhana: Penduduk Pribumi Australia adalah mereka yang telah mendiami negeri ini sebelum kedatangan pemukim dari Eropa. Sementara di Indonesia, konsepsi kepribumian adalah sesuatu yang jauh lebih kompleks. Saya bertanya-tanya apakah hal tersebut berdampak pada cara Anda memahami paradigma pasca-kolonialisme atau paradigma politik dan sosial yang ada di Indonesia pasca-kolonial?

 

Annisa: Ketika kita berbicara tentang kepribumian di tempat-tempat seperti Indonesia, seperti yang Anda katakan, sangat berbeda. Dan politik kepribumian juga sangatlah berbeda. Salah satu hal pertama yang harus kita ingat adalah fakta bahwa Indonesia ada, garis-garis batas negara yang tergambar di peta Indonesia adalah hasil dari kolonialisme. Saya bahkan akan mengatakan bahwa garis-garis merupakan sesuatu yang dibuat secara sewenang-wenang oleh kekuatan kolonial. Jika Anda melihat tradisi dan masyarakat Pan-Melayu, batas-batas antara Singapura, Malaysia, Indonesia, Brunei dan Filipina, mereka sangat sewenang-wenang, mereka tidak memiliki arti yang besar bagi kebanyakan orang yang berdiam di daerah perbatasan. Kami berbagi bahasa, kami berbagi budaya, perilaku dan nilai-nilai dan sebagainya. Tapi itu tidak berarti bahwa ada satu jenis gagasan yang stabil tentang apa artinya menjadi orang Indonesia. Saya pikir apa artinya menjadi orang Indonesia saat ini sangat berbeda bagi saya dibandingkan dengan seseorang di Toraja. Saya telah menonton video yang Anda bagikan kepada saya, tentang Toraja. Seseorang seperti saya yang orang tuanya berasal dari Jawa - Ibu saya dari Jawa Barat, dari Banten. Ayah saya, orang tuanya orang Batak, juga dari daerah tertentu. Keduanya berasal dari pulau-pulau yang sangat dominan dalam kebudayaan nasional dan ideologi politik Indonesia. Sumatera dan Jawa sangat besar pengaruhnya dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Indonesia. Secara historis, ini juga berarti bahwa orang-orang yang seperti saya dan berbicara bahasa daerah yang berasal dari Jawa atau Sumatera seperti saya dipandang sebagai budaya yang dominan. Kami, dalam banyak hal, merupakan "kolonis" di tempat-tempat seperti Papua dan di banyak bagian timur Indonesia. Jadi bagi saya, menjadi pribumi di negara pascakolonial seperti Indonesia memiliki arti yang sangat berbeda dengan di Australia, sebagian karena konsepsi tersebut disini jauh lebih rumit, karena kami merdeka. Orang-orang saling bercampur-baur. Gagasan tentang kemurnian etnis telah lama hilang. Tetapi batas-batas yang dibuat oleh kekuatan kolonial ini sewenang-wenang terhadap orang-orang yang merupakan masyarakat pribumi dalam arti sesungguhnya, yang tanahnya masih berada dalam kekuasaan Adat (hubungan tradisional dengan tanah), ide-ide ini kurang dihormati karena makna kepribumian, apa artinya menjadi orang pribumi, telah lama dibuang oleh banyak orang Indonesia di perkotaan. Masalahnya jauh lebih rumit, tentu saja, tetapi saya juga berpikir bahwa hal tersebut dapat sangat berbahaya karena kami, banyak orang Indonesia seperti saya, kami tidak lagi menghormati makna dari menjadi pribumi. Kami mengesampingkannya, sungguh. Dan itu sangat, sangat kritis dan saya memikirkan akibat-akibatnya yang besar terhadap mereka yang masih hidup dengan adat mereka.

 

Sam: Tampaknya di banyak belahan dunia, termasuk Australia, dan terutama Amerika, ada pemisahan antara gaya hidup perkotaan dan pedesaan yang membuat orang-orang semakin sulit untuk memahami nilai-nilai dan gaya hidup satu sama lain. Mungkin saya salah paham, tetapi dari apa yang saya simpulkan dari perkataan anda, menarik bahwa gagasan tentang kepribumian akan menjadi persamaan dalam dikotomi gaya hidup ini dan dalam kesulitan untuk memahami satu sama lain.

 

Annisa: Saya mencoba untuk lebih berfokus pada waktu, karena tidak mungkin bagi saya, saat ini sebagai orang Indonesia yang negaranya telah merdeka sejak 1940-an, saya sulit untuk mengklaim diri saya sebagai pribumi, dan karenanya memiliki hak untuk bebas. Ini adalah kasus yang sangat berbeda dengan masyarakat adat di Selandia Baru, Australia, Kanada atau First Nations di Amerika Serikat. Tapi hal tersebut tidak membuatnya lebih kurang bermasalah atau kurang brutal, menurut saya.

Ada kecenderungan di kalangan masyarakat perkotaan Indonesia untuk selalu memposisikan kawasan perkampungan dan desa sebagai daerah yang terbelakang. Rasa hormat tidak benar-benar ada pada mereka.

Sam: Ketika Anda pindah ke Australia, apakah Anda mengalami culture shock? Apa ekspektasi Anda sebelum Anda tiba dan bagaimana ekspektasi tersebut terpenuhi atau tidak?

 

Annisa: Saya telah menghabiskan banyak waktu saya di Indonesia dan Singapura. Secara kontekstual, tempat-tempat ini adalah tempat dimana ketika saya berbicara tentang ras dan etnis, itu menjadi sangat spesifik. Di sana, saya bukan "Asia", saya sama sekali bukan orang Asia. Di Singapura atau Indonesia, Anda diidentifikasikan oleh lokasi sangat spesifik dari tempat Anda tinggal dan dari mana orang tua Anda berasal. Ini selalu jadi percakapan dasar yang kita temui di Singapura, Malaysia dan Indonesia: "ibuku dari ... dan ayahku dari... kami biasanya tinggal di ...". Tapi tentu saja, politik semacam itu bergeser di Singapura juga karena politik rasialnya sendiri yang menarik. Untuk Singapura, seseorang entah merupakan orang Tionghos, Melayu, India, atau lainnya. Jadi dari situ sudah cukup bermasalah. Dan dalam percakapan tersebut, orang-orang akan mengatakan, semisalnya Anda menyebut diri sebagai orang Tionghoa, Tionghoa yang mana, apakah Anda orang Kanton, etnis Han, dan seterusnya. Apakah Anda dari Tiongkok Daratan, atau Taiwan, dan sebagainya.

 

Sam: Apakah itu kategori administratif?

 

Annisa: Ya. Di Singapura, dan saya pikir di Malaysia juga, klasifikasi etnis diperlukan untuk KTP. Jadi itu semacam politik yang berlaku di Singapura, di Malaysia. Saya harus mengatakan bahwa saya adalah orang Melayu sepanjang waktu, meskipun untuk orang Indonesia, yah, kami sebenarnya bukan orang Melayu. Di Indonesia, tidak mungkin mendefinisikan etnis Anda hanya dengan hanya mengatakan bahwa Anda orang Melayu. Karena jika orang tuamu dari Bali, kamu bukan Melayu, kamu orang Bali dan begitu juga jika kamu dari Sulawesi, dll. Jadi itu adalah salah satu jenis politik yang saya merasa tidak nyaman, menempatkan diri saya sebagai orang Melayu. Kemudian ketika saya datang ke Australia, saya ingat tahun pertama saya di sini, saya marah karena orang-orang melabeli saya sebagai orang Asia, yang bagi saya sangatlah, tidak saja reduktif, tetapi juga bermasalah, karena itu terdengar sangat Amerika. Saya tinggal di Amerika selama satu tahun dan saya tidak suka cara berpikir seperti itu, bahwa Anda adalah "Asia" atau kulit putih karena "Asia" dalam konteks ini bisa dikatakan sedikit banyak merujuk pada orang-orang dari Asia Timur. Hsl tersebut mengurangi kompleksitas di Asia Timur. Di sini, saya merasa bahwa gagasan bahwa saya mewakili keragaman sudah sangat bermasalah. Fakta bahwa orang-orang suka memasukkan saya ke dalam pengkotakan Asia dan orang Asia, pengkotakan yang membuat saya sangat tidak nyaman. Hal ini berbeda dengan Singapura, di mana banyak orang Indonesia diperlakukan sebagai kelas bawah karena banyak orang Indonesia pergi ke Singapura sebagai pembantu rumah tangga, seperti di Hong Kong. Meski ada ratusan ribu WNI di Singapura, sama seperti di Australia, mereka diperlakukan sebagai warga kelas bawah, warga kelas dua, seperti orang yang diperlakukan tidak hormat hanya karena mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Bedanya di Australia, saya bisa menjadi seorang profesional. Saya tidak harus membela diri karena saya bekerja di bidang pendidikan, saya berpendidikan tinggi dan saya memiliki semua keistimewaan yang saya dapatkan. Itu tidak terjadi di Australia. Kasusnya adalah saya dikategorikan sebagai orang Asia dan itu adalah sesuatu yang membuat saya sangat tidak nyaman.

 

Sam: Dan secara profesional, apakah itu berdampak besar dalam waktu Anda di sini?

 

Annisa: Karena saya berada di sebuah program yang cukup kritis, rekan-rekan dekat saya, orang-orang pada program saya tidak melihat saya karena warna kulit saya, saya diperlakukan sama. Ketika seseorang berada dalam posisi sebagai minoritas, ia dapat merasakan hal-hal kecil, ia dapat merasakan ketika orang memperlakukannya secara berbeda. Tetapi saya merasa sedikit berbeda pada tingkatan yang lebih besar di mana saya sering menjadi referensi untuk hal-hal keragaman yang sebenarnya tidak saya terlalu sukai. Saya pikir saya memiliki daya tarik diluar sekedar keragamanku. Saya memiliki kualitas diri yang jauh lebih besar daripada sekedar keragaman saya.

 

Sam: Anda mengajar, belajar, dan berpikir dalam bidang Kajian Budaya. Saya bertanya-tanya apakah ada perbedaan antara bagaimana Melbourne University dan universitas-universitas di Indonesia mendefinisikan bidang studi ini, atau apakah ada problematika atau tujuan Kajian Budaya yang berbeda?

 

Anissa [00:25:46] Kajian budaya, ketika dibandingkan dengan disiplin ilmu lain, dianggap sebagai sesuatu yang baru. Nah, itu tidak benar, karena disiplin ilmu ini sudah ada sejak tahun 1960-an, jadi sebenarnya tidak terlalu baru. Saya tidak memiliki masalah untuk mendefinisikannya, mungkin karena saya sudah berada di dalamnya selama sekitar sepuluh tahun. Menariknya, menurut saya Kajian Budaya Australia dan Kajian Budaya Intra-Asia sangatlah terkait, mereka cukup sering berkomunikasi satu sama lain. Bidang ini sangat tertarik dengan pertanyaan “keprihatinan politik apa yang Anda miliki yang sebenarnya sedang terjadi saat ini”. Jadi ini adalah bidang yang tidak benar-benar mencari permasalahan hanya karena itu topik yang menarik, tetapi karena itu benar-benar terjadi di tempat-tempat di sekitar Anda atau di masyarakat tempat Anda berada. Kajian Budaya membahas masalah-masalah ini, membahas urgensi langsung berdasarkan permasalahan sosial atau budaya atau isu-isu, kekhawatiran dll. di bidang kebudayaan. Saya pikir di Australia dan Asia khususnya, ada banyak kesamaan. Namun, ini akan menjadi percakapan yang sangat berbeda. Jika Anda berbicara dengan seseorang dari Eropa atau Inggris atau dari Amerika pada khususnya, model kajian budaya Amerika cukup berbeda.

 

Sam: Apa yang bisa Anda ceritakan tentang fakultas-fakultas Ilmu Budaya di Indonesia dan apakah hal paling mendesak yang mereka teliti saat ini?

 

Anissa [00:27:47] Jadi ada beberapa universitas di Indonesia, dimana kajian budaya merupakan bagian yang menonjol. Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran di Jawa Barat dan Universitas Gadjah Mada di Jawa Tengah. Ketiganya memiliki minat yang sangat mirip dalam kebudayaan kontemporer dan pertanyaan-pertanyaan seperti apa artinya menjadi subjek pasca-kolonial, masyarakat pasca-kolonial, apa yang bisa menjadi refleksi kita tentang permasalahan dan kekhawatiran di bidang budaya kontemporer yang sedang kita hadapi? Jenis fenomena budaya atau fenomena sosial apa yang dapat kita analisis dengan menggunakan metode atau cara berpikir yang tidak harus dibatasi oleh serangkaian batasan disiplin? Sarjana Ilmu Budaya sering dikenal sangat bebas mengambil metode dari berbagai disiplin ilmu yang sudah ada. Jadi ketiga universitas tersebut, sepengetahuan saya, telah melakukan ini dengan sangat baik. Mereka berada di garis depan analisis budaya, menurut saya.

 

Sam: Apakah Anda berhubungan dengan Fakultas Ilmu Budaya di universitas-universitas itu?

 

Annisa: Yah, tidak semuanya berjalan baik, tapi saya tahu semuanya, dan saya sudah berbicara dengan mereka semua. Bahkan, salah satu staf pengajar di jurusan bahasa Inggris, juga di bidang Ilmu Budaya, Erica, juga seorang pembuat film. Saya tahu dia. Dia di Universitas Padjadjaran dan dia tertarik untuk melakukan PHD di sini.

Sebenarnya saya penasaran dengan film-film yang anda bagikan pada saya. Saya sangat menyukainya. Mereka sangatlah sinematik dalam jenis definisi yang paling awam, sangat indah.

 

Sam: Apa yang anda dapat dari mereka? Apa yang Anda pahami dari sana? Apakah Anda memiliki gambaran seperti apakah versi film tersebut yang lebih panjang, atau kritik atau ide apa pun?

 

Annisa: Saya merasa tidak punya pengetahuan tentang ini, anda tahu, dan melihatnya membuatku belajar banyak tentang bagaimana cara berbagi pengetahuan antara orang tua dan anak-anak bekerja di desa ini. Itulah perasaan yang saya dapatkan setiap kali melihat film-film dokumenter tentang desa-desa di Indonesia. Mereka selalu sangat informatif, selalu sangat menyentuh. Saya bisa melihat apa yang dipertaruhkan di sana. Tetapi pada saat yang sama, saya juga melihat diri saya sangat jauh dari kenyataan itu. Penonton film-film semacam ini seringkali adalah orang-orang yang bukan orang Indonesia. Saya ingin tahu apa yang orang-orang seperti Anda pikirkan tentang ini, karena rasanya sangat berbeda dari dunia saya. Sama sekali tidak terasa seperti Indonesia bagi saya, hanya terasa seperti tempat yang berbeda sama sekali yang tidak sepenuhnya saya kenal. Saya senang belajar tentang tempat itu.

Sangat penting bagi kita untuk memusatkan literasi media dan memungkinkan orang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk melek huruf, tidak hanya dalam artian mampu membaca dan menulis, tetapi juga mampu memahami, menilai dan mengevaluasi diri mereka sendiri. 

Sam: Apakah Anda merasa orang Indonesia akan membuat film tentang Toraja dengan cara yang berbeda? Apakah Anda sering melihat film tentang desa-desa di Indonesia yang dibuat oleh orang Indonesia?

 

Annisa: Saya sering melihatnya di TV atau di berita. Ada kecenderungan di kalangan masyarakat perkotaan Indonesia untuk selalu memposisikan kawasan perkampungan dan desa sebagai daerah yang terbelakang. Rasa hormat - seperti yang ada dalam film anda - tidak benar-benar ada pada mereka. Itu salah satu kecenderungan neo-imperialis pada masyarakat perkotaan Indonesia. Saya bisa merasakan banyak rasa hormat dalam film Anda. Saya merasa seperti Anda menghormati orang yang lebih tua, dan keluarga dan masyarakat. Itu sebabnya saya mengatakan itu terasa sangat berbeda bagi saya. Rasanya sangat aneh untuk tidak melihat budaya semacam ini diperlakukan sebagai terbelakang. Dan itu menyegarkan dalam banyak hal.

Mungkin saya bisa bertanya kepada Afifah apakah saya benar, bahwa pada banyak acara TV atau berita di Indonesia di mana kita melihat desa, atau ketika kita melihat film atau adegan tentang Kampung, mereka selalu diperlakukan sebagai terbelakang?

 

Afifah: Ya, saya setuju. Dalam wawancara kami dengan Rukka Sombollongi, Sekretaris Jenderal AMAN, dia menyebutkan bahwa penggambaran masyarakat adat oleh media telah membantu membuat mereka dipandang sebagai semacam orang-orang dari zaman prasejarah. Tapi saya tidak melihatnya sebanyak di awal 2000-an. Orang-orang di Torajalah yang merekam semua ritual mereka dan mengunggahnya di YouTube, jadi ini sisi baiknya. Tetapi mereka juga menghadapi komentar-komentar keras dari sejumlah orang-orang perkotaan Indonesia, yang memiliki keyakinan yang berlawanan. Sedemikian rupa sehingga DSTV, yang menerbitkan video ini, menambahkan keterangan yang mengatakan "kami tidak mendukung rasisme, kami hanya mendukung hal-hal positif". Sangat bagus bahwa mereka tidak terlalu memikirkan persepsi masyarakat urban Indonesia tentang budaya mereka, dan mereka sangat mendukung gagasan bahwa kami ingin membuat film tentang budaya mereka.

 

Sam: Orang-orang yang dibicarakan Afifah yang membuat video YouTube ini, mereka adalah rekan-rekan dekat kami ketika membuat film tersebut.

 

Afifah: DSTV, Delta Sangalla TV, adalah stasiun TV lokal di daerah tersebut. Anda dapat mengecek video mereka di YouTube. Jadi saya dan Sam menangani ide digitalisasi arsip, karena ada lembaga di Alice Springs yang melestarikan arsip digital masyarakat Pribumi Australia. Tapi mereka tidak memiliki hal sejenis di Toraja untuk semua rekaman yang dikumpulkan DSTV. Semua catatan arsip mereka disimpan dalam kotak, sangat rentan terhadap kerusakan dan hal-hal semacam itu.

 

Annisa: Pengarsipan adalah masalah besar di Indonesia. Secara umum, orang-orang di Indonesia tidak mengurus arsip mereka, saya tidak tahu apakah itu memang karena kebiasaan mereka. Bisa dikatakan hal tersebut mungkin karena orang Indonesia terlalu terbiasa dengan tradisi lisan. Tapi saya tidak setuju dengan itu. Menurut saya, meskipun arsip modern dibuat oleh penerbit umum yang telah beroperasi sejak tahun 1960-an, semua arsip-arsip tersebut tidak dikelola dengan baik. Sekarang saya sedang mencari-cari arsip tentang anak perempuan dan perempuan muda di Indonesia. Dan saya mencari terbitan-terbitan populer, jadi saya bahkan tidak mencari arsip-arsip marginal. Terbitan-terbitan tersebut tidak ada, bahkan penerbitnya sendiri tidak menyimpannya. Kecuali bagi penerbit-penerbit yang sangat, sangat besar seperti Kompas atau Tempo yang masih eksis, mungkin itulah alasan mereka menyimpan arsipnya. Arsip untuk publikasi seperti Femina, yang merupakan salah satu penerbit terbesar dari banyak majalah wanita sejak tahun 1960-an tidak ada. Saya pergi ke Arsip Nasional dan perpustakaan di Jakarta. Arsip-arsip disana tidak terurus sama sekali, berantakan, tidak teratur. Pustakawan terbatuk-batuk, saya yakin dia telah menghirup semua debu yang ada disitu! Ini bukan cara yang tepat untuk menyimpan arsip apa pun. Jadi saya menemukan arsip menarik di Berkeley dan Cornell tapi tidak di Indonesia. Dan saya cukup yakin Heggarty mengatakan bahwa Perpustakaan Nasional Australia memiliki sejumlah laporan, beberapa laporan dari pemerintah Indonesia yang mereka arsipkan dengan baik, dan hanya itu. Saya pikir itu sangat menyedihkan, menyadari betapa data dan informasi dan hal-hal yang penting, bahkan hampir 40, 30 tahun yang lalu, sangat sulit untuk dilacak.

 

Sam: Chris, salah satu kolaborator kami dalam proyek khusus ini, telah mulai bekerja di CAAMA, Central Australian Aboriginal Media Association, salah satu organisasi media tertua dan terbesar yang dipimpin dan dijalankan oleh orang-orang pribumi di dunia. Ini adalah organisasi penting dan bersejarah yang telah berjalan selama 40 tahun terakhir, dan mereka mengalami kesulitan dalam mengarsipkan materi mereka sendiri, yang merupakan salah satu poin penting dari organisasi tersebut. Apakah ada inisiatif di Indonesia yang Anda ketahui untuk melakukan digitalisasi atau mendorong upaya pengarsipan yang lebih kuat?

 

Annisa: Saya percaya, usaha-usaha yang dilakukan tampaknya terhenti di tingkat nasional. Saat ini, untuk publikasi populer dan yang sudah ada hanya ada sedikit. Saya tahu tentang Queer Indonesia Archive. Beau Newham, yang sebenarnya berada di Melbourne, adalah pendiri arsip tersebut. Tetapi saya tidak mengetahui banyak upaya untuk mendigitalkan dan membuatnya dapat diakses oleh publik atau mengubahnya ke dalam bentuk yang lebih populer. Saya harap saya salah!

 

Afifah: Saya ingin mengangkat kembali topik mengenai sejarah penjajahan dan kolonialisme di Indonesia, berdasarkan kuliah yang Anda lakukan di Jakarta di mana Anda membahas topik mengenai kewarganegaraan digital. Saya ingin tahu lebih banyak tentang keberadaan media baru pascakolonialisme dan bagaimana hal itu telah membentuk masyarakat dan mungkin itu bisa menjadi bahan pembicaraan tentang rezim pasca-otoritarianisme dan pasca-Soeharto. Tapi mungkin mari kita bicara lebih banyak tentang pasca-kolonialisme.

 

Annisa: Anda hadir dalam kuliah saya tersebut?

 

Afifah: Tidak, rekamannya dipublikasikan di YouTube!

 

Annisa: Salah satu hal terpenting yang harus saya garis bawahi, dan ini adalah kecenderungan dalam masyarakat Indonesia, adalah bahwa "media baru" selalu dilihat atau dianggap sebagai Internet, format digital dan variasinya. Salah satu hal terpenting yang harus kita ingat adalah bahwa setiap media selalu merupakan bentuk “media baru” pada saat itu. Di Indonesia pada awal 1900-an surat kabar dan buku adalah media baru, dan mereka memainkan peran yang sesungguhnya sangat penting dalam upaya anti-kolonisasi. Ketika kita memikirkan “media baru” dalam konteks Indonesia pasca-kolonial, saya pikir penting juga untuk memikirkan berbagai jenis media yang digunakan orang untuk berkomunikasi dengan diri mereka sendiri di waktu yang berbeda. Jelas, di masa Sukarno, tahun 1940-an hingga 60-an, bentuk media baru sebagian besar adalah radio dan surat kabar. Tapi saya pikir jeda dan depolitisasi media benar-benar merajalela dan sangat brutal di bawah Orde Baru selama tiga puluh dua tahun, di mana media yang dapat diakses publik sangat dikontrol, dan ada pilihan yang sangat terbatas bagi orang-orang untuk benar-benar dapat berkomunikasi satu sama lain. Hal tersebut adalah masalah besar. Saat itu, banyak argumen yang dilontarkan adalah bahwa orang kehilangan kapasitasnya untuk berkomunikasi atau berorganisasi dan bermobilisasi karena media sangat dikontrol. Untuk sebagian besar itu benar. Namun faktanya, jika kita menelusuri arsip, dan inilah mengapa arsip itu penting, Anda dapat melihat bahwa orang-orang yang dianggap non-politik, khususnya anak muda, benar-benar aktif mencoba berinovasi dalam cara-cara mereka menggunakan media. Jadi, misalnya, majalah-majalah Islam sangatlah besar. Majalah sangat penting di kalangan mahasiswa. Forum internet di tahun 90-an adalah kunci untuk aktivisme melawan pemerintah otoriter. Kemudian setelah pemerintahan Suharto yang otoriter tumbang di awal tahun 2000-an, media pun menjamur. Anda melihat keinginan yang tak terkendali untuk mengatakan segalanya dan apa saja, dan Anda melihat tabloid porno di mana-mana. Pada saat yang sama, Anda melihat majalah-majalah-majalah Islam dan penerbit-penerbit baru bermunculan. Untuk tempat-tempat seperti Indonesia, “media baru” adalah istilah penting dan selalu ada. Di era modern di Indonesia, atau bagaimanapun para birokrat menyebutnya, bahkan pada masa kolonial, media merupakan bagian mendasar dari segala jenis perubahan dalam masyarakat, bahkan hingga saat ini. Itulah sebagian besar argumen saya untuk berhenti mencoba membuat "media baru" menjadi hanya tentang bentuk digital atau bentuk Internet, tetapi benar-benar telah menjadi jenis hal yang selalu terjerat dalam masyarakat kita. Dan oleh karena itu, jika Anda setuju dengan hal tersebut, itu tidak memungkinkan kita untuk mengatakan bahwa kita “tradisional” atau “terbelakang”, karena teknologi selalu menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan sebagian besar masyarakat kolonial di dunia.

Tapi saya pikir jeda dan depolitisasi media benar-benar merajalela dan sangat brutal di bawah Orde Baru selama tiga puluh dua tahun, di mana media yang dapat diakses publik sangat dikontrol, dan ada pilihan yang sangat terbatas bagi orang-orang untuk benar-benar dapat berkomunikasi satu sama lain. 

Afifah: Saya sangat tertarik dengan apa yang Anda katakan tentang munculnya berbagai bentuk media di Indonesia pada masa kontemporer ini, munculnya media-media alternatif dan independen. Saya ingin menyebutkan isu-isu yang muncul sekitar 2016/2017, banyak yang mulai tidak mempercayai media arus utama karena keyakinan pribadi. Saya membaca artikel ini di "The Conversation by ...." setelah demonstrasi Islamis pada tahun 2016, bahwa telah terjadi penurunan kepercayaan pada media arus utama dan orang-orang sekarang beralih ke media sosial. Saya pikir, di zaman sekarang ini kita cenderung memilih media yang kita konsumsi berdasarkan keyakinan pribadi. Sebagai sarjana kajian budaya dan pakar media, bagaimana menurut Anda orang-orang dapat mendidik diri mereka sendiri dalam mengkonsumsi media, baik dari media independen maupun media alternatif, dan juga dari media arus utama, sambil berusaha mempertahankan perspektif objektif?

 

Annisa: Pertanyaan yang kamu ajukan ini sulit sekali! Begini masalahnya, saya tidak suka ide objektivitas ini, karena sering digunakan oleh banyak orang dengan kepentingan kolonial dan imperialis. Untuk mengatakan "apa yang Anda lakukan adalah subjektif dan untuk kepentingan pribadi Anda sendiri, tetapi apa yang kami lakukan adalah objektif dan apa yang kami lakukan adalah untuk kepentingan umum". Jadi, itu istilah yang sangat berbahaya. Istilah tersebut mungkin baik untuk orang-orang di bidang sains, tetapi untuk bidang yang berkaitan dengan budaya dan masyarakat, saya pikir itu sangat berbahaya. Namun, yang penting adalah literasi. Memahami apa arti literasi memungkinkan kita untuk, pertama-tama, memberi orang ruang untuk membuat pilihan mereka sendiri. Orang-orang harus memiliki kemampuan dan kapasitas untuk memilih antara media mainstream dan media alternatif. Dan kedua, agensi yang dimiliki orang-orang ketika mereka diizinkan melek huruf. Ketika orang diberi kapasitas untuk melek huruf, kita memberi mereka kapasitas untuk memilih dan menjadi agen posisi mereka sendiri. Mereka tidak diberitahu apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang berpikir bahwa mereka lebih pintar. Mereka tidak melayani kepentingan orang lain tetapi kepentingan mereka sendiri. Saya benar-benar ingin sangat berhati-hati, terutama dalam kuliah itu, saya berbicara di sebelah seorang birokrat, dan saya mencoba untuk memastikan bahwa saya tidak mengatakan bahwa saya setuju dengan mereka; bahwa orang-orang hanya perlu membaca koran Kompas (koran utama Indonesia) dan bahwa kita semua harus memberantas bentuk-bentuk media alternatif. Orang-orang menginginkan media alternatif karena tidak ada yang mendengarkan mereka. Tidak ada yang mengatakan apa yang ingin mereka katakan. Jika Anda dari Toraja dan ingin mendengar tentang budaya Anda sendiri, mengapa Anda membaca Kompas dan menunggu liputan Toraja setahun sekali? Kompas seringkali sangat Jakarta-sentris, sangat merendahkan dan reduktif. Sangat penting bagi kita untuk memusatkan literasi media dan memungkinkan orang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk melek huruf, tidak hanya dalam artian mampu membaca dan menulis, tetapi juga mampu memahami, menilai dan mengevaluasi diri mereka sendiri. Inilah yang kurang dari upaya pemerintah untuk pendidikan, dimana saat ini upaya tersebut hanya untuk membuat masyarakat membaca, yang tingkatnya sangat minim, dan tidak memberikan banyak ruang bagi masyarakat untuk berpikir. Saya sangat senang dengan pencarian orang untuk bentuk media alternatif, yang tentu saja mungkin berbahaya bagi sebagian orang. Tapi saya jauh lebih takut akan tuntutan masyarakat yang konstan untuk perdamaian dan ketertiban, daripada konflik masyarakat. Karena “kedamaian dan ketertiban” adalah tagline rezim otoriter selama 32 tahun ketika orang dibunuh untuk dibungkam. Sedikit konflik diperlukan karena orang-orang ingin didengar dan kita perlu mendengarkan mereka. Tentu saja saya tidak membenarkan kekerasan, tetapi ada banyak hal yang perlu dibahas yang bahkan tidak dibahas secara dangkal oleh orang-orang yang berkuasa dan para birokrat. Jadi saya pikir literasi perlu dipusatkan, singkatnya!

 

Afifah: Bagaimana dengan media dengan kecenderungan Barat, seperti VICE Indonesia misalnya. Saya melihat banyak kaum konservatif cenderung menggambarkan media semacam ini sebagai terlalu radikal, terlalu kebarat-baratan. Apa pendapat Anda tentang itu?

 

Annisa: Siapa kalangan konservatif yang kamu maksud disini?

 

Afifah: Kebanyakan orang-orang di Internet, komentar-komentar di Twitter. Saya sendiri secara pribadi mengenal beberapa orang yang tidak setuju dengan apa yang diterbitkan VICE Indonesia atau konflik yang mereka iklankan. Apa pendapat Anda tentang munculnya jenis media yang sangat berorientasi Barat ini?

 

Annisa: Saya mempelajari, bekerja dengan, dan menganalisis orang-orang yang dicap sebagai “konservatif”, khususnya kelompok perempuan muda Muslim. Saya memiliki banyak masalah dan pertanyaan ketika orang-orang memberi label kelompok sebagai "konservatif" atau "liberal" dan seterusnya. Pertama kita harus membahas mengapa media asing ini bisa masuk ke Indonesia. Itu karena pemerintah mengizinkannya. Karena pemerintah mengizinkan mereka masuk ke Indonesia, dan untuk waktu yang lama mereka tidak bisa masuk. Jika pemerintah tidak mengizinkan, mereka tidak akan bisa menerbitkan di Indonesia. Orang-orang yang “pro-kebudayaan nasional”, “pro-budaya tradisional” atau apa pun yang mereka anggap sebagai orang Indonesia, biasanya juga orang-orang yang pro-pemerintah. Tapi faktanya, pemerintah mengizinkan media asing ini masuk ke Indonesia, dan itu tidak selalu buruk. Saya pikir media sosial benar-benar tempat yang baik bagi orang-orang untuk menyuarakan keprihatinan mereka. Poin yang sering ingin saya sampaikan adalah jika orang-orang cukup peduli dengan media sosial, maka pemerintah harus melakukan sesuatu karena orang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa perubahan struktural. Jika pemerintah ingin membuat media sosial sendiri, jika mampu, silakan, tetapi saya rasa itu tidak mungkin sama sekali saat ini. Anda tahu, intervensi asing itu berbahaya, tetapi media asing tidak, dan saya rasa kita tidak bisa memihak mereka dan mengatakan media asing sama dengan intervensi asing. Terkadang kita memang membutuhkan pihak ketiga untuk mengatakan bahwa pemerintah menyebalkan atau suatu masyarakat itu berbahaya. Bagaimana menurutmu, Afifah?

 

Afifah: Saya mendengarkan podcast Anda tempo hari di mana Anda berbicara tentang wanita Muslim di Spotify dan mereka dicap sebagai aktivis Muslim. Ini sangat menarik bagi saya karena saya tidak melihat mereka sebagai aktivis Muslim, saya melihat mereka sebagai influencer. Saya tumbuh besar hidup dalam lingkungan online, dan beberapa perspektif Anda sangat berbeda dari apa yang saya ketahui saat tumbuh dewasa. Saya melihat orang-orang ini sebagai selebritas, sebagai influencer, jadi gagasan bahwa mereka sebenarnya adalah aktivis adalah sesuatu yang telah memperluas wawasan saya. Saya benar-benar ingin belajar lebih banyak tentang perspektif ini. Tapi mungkin topik wanita Muslim adalah diskusi untuk hari lain. Jadi mari kita bicara lebih banyak tentang pertukaran lintas budaya. Jadi sebagai seseorang yang berasal dari generasi Z, mungkin saya mewakili sentimen generasi Z dan kita menjalani sebagian besar hidup kita di ruang online. Ada kebutuhan untuk memiliki keterampilan interaksi khusus dalam komunikasi lintas budaya, bukan hanya karena, tentu saja, ada kebutuhan untuk kesadaran dan pemahaman dan saya pikir kedua aspek ini penting. Tapi ini juga tuntutan masyarakat, misalnya untuk prospek kerja setelah lulus, kami merasa perlu untuk masuk ke perusahaan multinasional dll. Sebagai seseorang yang sangat memahami budaya digital, menurut Anda bagaimana atau mengapa sentimen ini muncul atau sudah ada sebelum sosial media? Apakah menurut Anda sentimen ini hanya berlaku untuk generasi Z atau milenial, dan bagaimana globalisasi digital berperan dalam sentimen tersebut?

 

Annisa: Saya pikir ini pertanyaan yang sangat bagus, dan saya menulis artikel tentang bagaimana situasi terkini mendorong orang-orang seperti Anda dan generasi Anda ke cara-cara bertahan hidup yang berbahaya dan sulit. Saya menyebutnya politik bertahan hidup, di mana Anda memiliki tiga pilihan sebagai anak muda di Indonesia. Satu; Anda melawan pemerintah. Apa yang terjadi kemudian seperti yang terjadi pada Rafyo dan banyak lainnya, apa yang terjadi pada orang-orang yang mendukung pawai buruh pada hari Sabtu, polisi menangkap mereka. Pada 2019 dan 2020, sekitar lima ratus pelajar dan pemuda hilang. Sepasang suami istri ditemukan tewas. Jadi itu pilihan pertama, yang menuntut Anda selalu aktif, selalu berjejaring, selalu aktif, bahwa Anda melawan pemerintah. Sering mengakibatkan hukuman penjara atau kematian. Pilihan kedua adalah bagi Anda untuk mengatakan ya, Anda turut dalam permainan, Anda setuju, Anda berkata, ya, saya akan mengikuti apa yang Anda perintahkan untuk saya lakukan. Anda memberitahu saya untuk mendapatkan pendidikan, pergi ke sekolah tinggi, dan kemudian pergi ke pendidikan tinggi di universitas. Universitas itu mahal, banyak dari mereka diperuntukkan untuk elit. Dulu mereka diperuntukkan untuk orang banyak, tapi sekarang, mereka dirancang untuk anak-anak kaya. Jadi, mungkin Anda masuk ke sekolah elit, mungkin juga tidak. Mungkin, seperti 80 persen mahasiswa, Anda kuliah di universitas swasta di mana Anda diajari untuk sekadar menjadi buruh, pekerja lain dalam suatu sistem atau suatu industri. Anda pergi ke sekolah, menjadi akuntan yang baik atau menjadi insinyur yang baik, pergi ke perusahaan, bekerja sampai Anda mati. Tetapi ketika pandemi melanda atau ketika krisis melanda, meskipun Anda memilih opsi kedua, Anda mengikuti apa pun yang diperintahkan pemerintah kepada Anda, pemerintah tidak membantu Anda dengan cara apa pun. Segala jenis fasilitas, bantuan, atau dukungan yang mereka berikan kepada Anda hanyalah lelucon. Mereka tidak akan membiarkan Anda bertahan hidup, Anda kehilangan segalanya. Jadi itu pilihan kedua, kan? Pilihan ketiga adalah berada di tengah-tengah itu semua, Anda harus menyulap dan Anda harus mengatakan ya untuk satu hal dan mengatakan tidak untuk yang lain. Tapi apa yang terjadi adalah Anda harus menetapkan pilihan pada suatu titik, kan? Karena pemerintah tidak akan membantu Anda dengan apa pun. Itu melelahkan dan seperti itu karena selama ini Indonesia terobsesi dengan perbaikan. Tania Murray Li telah menulis buku-buku fantastis tentang ini, jika Anda tertarik, Anda dapat membaca The Will to Improve. Dia menulis tentang bagaimana di Indonesia, bahkan di daerah, orang terobsesi dengan perbaikan. Dan saya pikir rezim Jokowi saat ini hanya memperburuknya. Dia memperlakukan orang-orang seperti pekerjanya. Kita bukan warga negara, kita hanya pekerja baginya. Jika kita tidak mengikuti tuntutan manajerialnya, kita kalah. Saya pikir anak muda saat ini berinteraksi sedemikian rupa dengan cara yang tidak berkelanjutan, banyak dari Anda rentan terhadap kelelahan dan banyak dari Anda tidak berada dalam dunia usaha yang adil. Saya minta maaf dan saya berharap semuanya akan menjadi lebih baik, tetapi saya tidak tahu bagaimana cara membuatnya menjadi lebih baik.

 

Afifah: Menarik sekali Anda menyebutkan soal ambisi pemerintah untuk selalu berinovasi, terutama bahwa mereka mengandalkan kita, kaum muda, dan apalagi sekarang ada tuntutan bukan saja dari pemerintah, tetapi bahkan lebih dekat dengan saya, dari orang tua saya, dari fakultas saya, bahwa ada semacam kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan internasional juga. Untuk berpotensi menjadi dosen suatu hari nanti, ada kebutuhan untuk mendapatkan gelar master dan doktor dan hal-hal seperti itu, yang saya cita-citakan secara pribadi, tetapi sebagian dari kita tidak memiliki visi yang sama.

Tumbuh dengan arus informasi seperti ini, dimana begitu banyak hal yang tersedia secara online, semuanya menjadi semakin mudah diakses. Dalam banyak hal kami beruntung untuk itu. Tetapi hanya mampu mengidentifikasi budaya atau memahami batas-batas budaya tidak sama dengan memiliki pengetahuan atau mampu memulai percakapan. Bagi saya, saya merasa perlu memiliki pengalaman langsung. Dengan mengikuti program pertukaran dengan Sam dan Sipakatuo ini, saya belajar lebih banyak tentang budaya asli di Australia dan budaya Toraja, kebudayaan yang dekat dengan saya, tetapi yang mana saya bukan bagian darinya. Sebagai seseorang yang tidak mewakili salah satu dari budaya tersebut, yang hanya mengalaminya melalui penelitian, wawancara, dan artikel, saya selalu merasa seperti saya masih melihat semuanya dari balik kaca, jika perumpamaan tersebut masuk akal. Saya tidak merasa seperti saya cukup siap untuk membuat karya penelitian yang membahas ide-ide yang melekat pada sejarah budaya yang telah berakar kuat. Pernyataan panjang ini adalah bagian dari pertanyaan saya untuk Anda: sebagai akademisi dan peneliti sendiri, dan menelaah gagasan dan permasalahan dari sudut pandang ilmiah dan sosiologis, apa pendapat Anda tentang pendekatan yang efektif dalam berkomunikasi dan memahami budaya lain sambil juga merangkul peluang yang diberikan era digital kepada kita?

 

Annisa: analisis adalah budaya saya! Tapi itu pertanyaan yang sangat bagus. Melakukan pendekatan dan berkomunikasi dengan baik atas budaya lain, pertama-tama, adalah sesuatu yang dikatakan orang Australia yang tidak berperasaan sebagai “ketepatan politis”, yang saya tidak setujui. Saya pikir sangat penting untuk menghormati, untuk mengatakan bahwa itu bukanlah budaya Anda yang mana anda memiliki pengalaman minimum atau Anda mungkin melihatnya melalui balik kaca. Saya suka pernyataan ini, karena dalam kisah Alice, menembus Looking Glass adalah pengalaman yang sangat mengubah hidup baginya. Sangat penting untuk terlebih dahulu mengakui bahwa itu bukan budaya Anda, bahwa Anda sebenarnya tidak berada dalam budaya itu dan oleh karena itu, Anda tidak mengalami hal-hal kecil yang telah menciptakan pengalaman bagi orang-orang di dalam budaya itu. Tetapi juga, hal-hal kecil yang menyakiti mereka, hal-hal kecil yang mereka perhatikan karena tertanam dalam budaya itu tetapi Anda tidak akan menyadarinya. Hal kedua adalah bahwa ada jalan tengah yang menarik di mana orang-orang yang berasal dari masyarakat pasca-kolonial perlu bernegosiasi. Ini bisa menjadi percakapan yang sangat berbeda jika saya menjawab pertanyaan ini. Jika pertanyaan ini ditanyakan oleh Sam, saya akan menjawabnya dengan sangat berbeda. Tetapi karena Anda orang Indonesia dan Anda tinggal di dekat masyarakat yang anda pelajari, Anda sendiri adalah orang Indonesia dengan pengalaman pascakolonial, yang membuatnya sangat berbeda dari seseorang yang sama sekali dari luar dengan berbagai jenis hak istimewa dan, dalam banyak hal, keunggulan simbolis. Ini adalah jalan tengah yang harus dinegosiasikan oleh orang-orang seperti Anda dan saya. Kita harus membuat pekerjaan tentang Indonesia. Kita harus berpikir tentang Indonesia dengan cara yang tidak hanya tentang “tradisi saya” atau “budaya saya”, tetapi tentang saya mengambil bagian dalam percakapan yang lebih besar, lebih penting, dan lebih mendesak tentang budaya. Adalah saya yang berteori dan mengabstraksi budaya yang dekat dengan saya, dan sayalah yang mengambil bagian dan turut campur dalam percakapan yang selalu mengutamakan orang-orang kulit putih atau kelompok etnis Anglo. Anda melakukan pekerjaan yang sangat penting, dan jalan tengah yang Anda cari adalah masalah kontemporer yang sangat penting. Saya salah satu dari sedikit orang Indonesia yang merupakan seorang Indonesianis, dan Anda mungkin juga demikian di masa depan. Indonesianis yang juga orang Indonesia sayangnya masih merupakan hal yang baru. Kebanyakan Indonesianis bukan berasal dari Indonesia. Mereka biasanya orang Amerika atau Australia dan bukan bagian sesungguhnya dari masyarakat Indonesia. Saya rasa saya tidak dapat menjawab pertanyaan ini dengan baik, selain fakta bahwa kita masih mencari jalan tengah untuk mendekati dan berkomunikasi dengan benar dalam mempelajari budaya yang bukan milik kita tetapi dekat dengan kita.

 

Afifah: Istilah "Indonesianis" sangat baru bagi saya dan saya ingin mengetahui lebih banyak tentang hal itu. Hasil dari penelitian ini adalah sesuatu yang banyak saya pikirkan. Saya sangat takut untuk mewakili orang-orang yang terpinggirkan dan permasalahan-permasalahan mereka dan menyukai kebutuhan akan arsip karena saya sendiri tidak mengelola arsip dan tidak tahu apa yang diperlukan. Ide Anda tentang menemukan jalan tengah adalah sesuatu yang saya cari dan coba identifikasi saat ini.